Perang Timur Tengah

Petaka di Iran, 444 Hari Disandera (4 November 1979-20 Januari 1981): Saat Amerika Dipermalukan (Lagi) di Mata Dunia

Krisis sandera di Iran adalah kebuntuan diplomatik antara Amerika Serikat dan Iran. Lima puluh dua diplomat dan warga negara Amerika disandera setelah sekelompok mahasiswa bersenjata Iran asal kelompok yang menamakan dirinya sebagai “Muslim Student Followers of the Imam’s Line”, yang mendukung Revolusi Iran, mengambil alih Kedutaan Besar Amerika di Teheran dan menangkap para sandera. Para sandera kemudian akan ditahan selama 444 hari dari tanggal 4 November 1979 hingga 20 Januari 1981. Media Barat lalu menggambarkan krisis ini sebagai “jalan buntu” yang merupakan perwujudan dari “pembalasan dan ketidakpercayaan bersama.” rakyat Iran terhadap Amerika. Sementara itu, Presiden AS Jimmy Carter menyebut penyanderaan sebagai tindakan “pemerasan” dan para sandera sebagai “korban terorisme dan anarki”. Di Iran sendiri, hal itu secara luas dipandang sebagai tindakan melawan AS dan pengaruhnya di Iran, termasuk upaya yang dianggapnya bermaksud untuk merusak Revolusi Iran dan dukungan lamanya terhadap Shah Iran, Mohammad Reza Pahlavi, yang digulingkan pada tahun 1979. Peristiwa ini kemudian akan dipandang oleh beberapa pihak di dunia sebagai sebuah contoh “impotensi” Amerika dalam mengenali dan menangani problem-problem yang mereka hadapi dengan negara-negara yang secara potensial kekuatannya jauh dibawah Amerika. Peristiwa ini juga menjadi salah satu titik terendah kredibilitas politik pemerintah Amerika selepas Perang Vietnam yang berakhir tahun 1975, sekaligus menunjukkan kelemahan administrasi Presiden Jimmy Carter.

Dua sandera Amerika selama pengepungan kedutaan Amerika, 4 November 1979. Krisis penyanderaan kedutaan Amerika di Teheran menandai titik terendah politik luar negeri Amerika setelah perang Vietnam. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

SERBUAN KE KEDUTAAN AMERIKA

Pada tanggal 4 November 1979, ratusan mahasiswa sains dan teknik Iran — marah karena Presiden Amerika Jimmy Carter telah memberikan ijin kepada Mohammad Reza Shah Pahlavi yang sakit dan baru-baru ini diasingkan untuk berobat ke Amerika — datang ke gerbang yang dirantai dan setinggi 8 hingga 12 kaki berdinding bata, yang merupakan gedung utama Kedutaan Besar AS di Teheran. Meskipun para diplomat, staf, dan personel militer di dalam kompleks memiliki banyak alasan untuk khawatir, mereka seharusnya tidak terkejut dengan kejadian yang mereka alami di pagi itu. Hampir sembilan bulan sebelumnya, pada tanggal 14 Februari — hari yang sama saat kelompok ekstremis di Kabul, Afghanistan, menculik dan membunuh Duta Besar AS Adolph Dubs — kaum militan di Teheran menyerbu kedutaan. Meskipun para penyerbu menduduki gedung hanya beberapa jam, mereka sempat melukai dan menculik petugas keamanan Marinir Sersan Kenneth Krause, menyiksanya dan mengancam akan mengeksekusinya sebelum pihak yang berwenang membebaskannya seminggu kemudian. Dalam serangan di bulan November para penyerbu — anggota kelompok fundamentalis yang menamakan dirinya Mahasiswa Muslim Pengikut Garis Imam (Khomeini) — pada awalnya merencanakan penyerangan hanya sebagai unjuk kekuatan simbolis. “Ini seharusnya menjadi aksi kecil, berjangka pendek,” Ebrahim Asgharzadeh, salah satu pemimpin pengambilalihan kedutaan, mengatakan kepada seorang reporter GQ pada tahun 2009. “Kami hanyalah sekelompok siswa yang ingin menunjukkan kekecewaan kami pada Amerika Serikat. Setelah itu (semuanya) lepas kendali. “

Mahasiswa Iran memanjat tembok kedutaan besar AS di Teheran selama Revolusi Iran, 4 November 1979. Para mahasiswa melanjutkan aksi mereka dengan menangkap staf kedutaan, dan menahan 52 dari mereka sebagai sandera selama 444 hari. (Photo by AFP/Getty Images/https://www.nbcnews.com/)

Upaya untuk merebut Kedutaan Besar Amerika direncanakan pada bulan September 1979 oleh Ebrahim Asgharzadeh. Dia berkonsultasi dengan kepala asosiasi Islam universitas utama Teheran, termasuk Universitas Teheran, Universitas Teknologi Sharif, Universitas Teknologi Amirkabir (Politeknik Teheran), dan Universitas Sains dan Teknologi Iran. Mereka menamai kelompoknya sebagai “Mahasiswa Muslim Pengikut Garis Imam”. Asgharzadeh kemudian mengatakan ada lima siswa pada pertemuan pertama, dua di antaranya ingin menargetkan Kedutaan Besar Soviet karena Uni Soviet dianggap sebagai “rezim Marxis dan anti-Tuhan”. Sementara dua orang lainnya, Mohsen Mirdamadi dan Habibolah Bitaraf, mendukung target pilihan Asgharzadeh, yakni kedutaan Amerika Serikat. “Tujuan kami adalah untuk menentang pemerintah Amerika dengan pergi ke kedutaan mereka dan menduduki selama beberapa jam,” kata Asgharzadeh, sambil “Mengumumkan keberatan kami dari dalam kompleks yang diduduki, diharapkan akan membawa pesan kami ke dunia dengan cara yang jauh lebih tegas dan efektif.” Mirdamadi mengatakan kemudian kepada pewawancara, “Kami bermaksud untuk menahan para diplomat selama beberapa hari, mungkin satu minggu, tetapi tidak lebih. “Masoumeh Ebtekar, juru bicara mahasiswa Iran selama krisis, mengatakan bahwa mereka yang menolak rencana Asgharzadeh tidak berpartisipasi dalam kejadian-kejadian berikutnya. Para mahasiswa juga telah mengamati prosedur Penjaga Keamanan Marinir dari atap terdekat bangunan yang menghadap kedutaan. Mereka juga mengambil pengalaman mereka dari pengambilalihan kedutaan bulan februari sebelumnya, saat Kedutaan Besar AS diduduki sebentar. Mereka diketahui juga meminta dukungan dari petugas polisi yang bertugas menjaga kedutaan dan para Pengawal Revolusi Islam Iran. 

Dalam file foto tanggal 5 November 1979 ini, Ebrahim Asgharzadeh, kiri, perwakilan mahasiswa Iran yang menyerbu Kedutaan Besar AS pada tanggal 4 November, memegang potret salah satu sandera yang ditutup matanya, selama konferensi pers di kedutaan Amerika di Teheran. Menurut Asgharzadeh, pada tahun 2009, penyerbuan ke kedutaan Amerika awalnya cuma akan dilakukan singkat, namun semuanya kemudian menjadi tidak terkendali. (Sumber: https://www.11alive.com/)

Pada saat penyerbuan, diperintahkan untuk tidak menembak ke arah kerumunan, 13 penjaga keamanan Marinir kedutaan menembakkan gas air mata, yang terbukti tidak efektif saat para mahasiswa memanjat tembok dan menerobos gerbang. Ketika para demonstran tiba dengan bus yang memuat mereka, para mahasiswa menodongkan senjata ke kepala dua personel kedutaan, mengancam akan menembak kecuali mereka yang berada di dalam membuka pintu baja. Ketika tuntutan itu dipatuhi, para siswa masuk ke ruang pertemuan, mengumpulkan mereka yang ada di dalamnya. Seperti yang dikenang oleh penjaga keamanan Marinir Sersan William Gallegos, “Mereka mengikat, menutup mata kami, dan menyeret kami keluar.” Para demonstran kemudian mengarak 66 orang Amerika di depan kamera stasiun berita Iran. Bagi sebagian besar sandera, itu adalah awal dari perjalanan yang tidak akan berakhir selama satu tahun lebih 79 hari. Pada saat itu, dengan tanpa diketahui orang-orang Iran, enam diplomat Amerika berhasil menghindari penangkapan dan mengungsi di Kedutaan Besar Inggris sebelum dipindahkan ke Kedutaan Besar Kanada. Yang lainnya pergi ke Kedutaan Besar Swedia di Teheran selama tiga bulan. Dalam operasi rahasia bersama yang dikenal sebagai “Canada caper”, pemerintah Kanada dan CIA berhasil menyelundupkan mereka keluar dari Iran pada 28 Januari 1980, menggunakan paspor Kanada dan cerita palsu yang mengidentifikasi mereka sebagai kru film. Kisah ini kemudian diabadikan dalam film “Argo” (2012). Sementara itu, “dalam retrospeksi,” tulis penulis Mark Bowden dalam bukunya tahun 2006, berjudul “Guests of the Ayatollah”, pengambilalihan kedutaan “terlalu mudah ditebak. Kedutaan Amerika yang beroperasi di jantung ibu kota Iran yang diliputi suasana revolusi terlalu berat untuk bisa diterima keberadaannya oleh warga Teheran. ” 

Rakyat Amerika menyatakan terima kasihnya pada pemerintah Kanada, yang berperan aktif membantu menyelundupkan keluar 6 warga Amerika dari kemungkinan penyanderaan oleh pemerintah Iran. Kisah mengenai aksi penyelamatan ini kemudian diabadikan dalam film Argo tahun 2012. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

LATAR BELAKANG KONFLIK AMERIKA VS IRAN

Sebenarnya tidak ada yang baru dalam kehadiran Amerika di Iran, meskipun sudah ada bangsa lain yang lebih dulu sampai di sana. Dua pemain terbesar yang lebih dulu ingin mengontrol cadangan minyaknya yang berharga adalah Inggris dan Rusia. Pada tahun 1907 kedua negara “membagi” Persia (sebutan negeri itu) menjadi tiga wilayah kekuasaan, masing-masing kekuatan kemudian mengklaim satu bagian dengan sebuah zona netral yang memisahkan mereka. Dengan memaksakan perpecahan ekonomi, mereka secara efektif menghentikan upaya Persia untuk membangun monarki konstitusionalnya yang sedang tumbuh. Tahun berikutnya, Anglo-Persian Oil Co. — perusahaan swasta yang didanai pemerintah yang kemudian menjadi British Petroleum, atau BP — menjadi perusahaan pertama yang memanfaatkan cadangan minyak di kawasan itu. Amerika Serikat sendiri belum akan terlibat aktif di Iran sampai pecahnya Perang Dunia II, ketika kendali atas minyak Timur Tengah sangat penting untuk kemenangan Sekutu. Pada tahun 1941, Inggris dan Rusia yang baru bersekutu memasang Mohammad Reza Pahlavi yang berusia 21 tahun sebagai Syah, dan Presiden Franklin Roosevelt mengirim ribuan pasukan Amerika ke Iran untuk membantu menjalankan dan memelihara Kereta Api Trans-Iranian yang dibangun Sekutu di negara itu. Meskipun pasukan AS kemudian ditarik setelah perang berakhir, Amerika Serikat, menurut sejarawan Timur Tengah John P. Miglietta, “mulai memperluas tujuannya di negara itu dan kawasan sekitarnya secara keseluruhan. Upaya mereka ini berpusat pada perolehan kendali atas minyak Iran, serta mempertahankan Iran sebagai benteng strategis melawan Uni Soviet selama Perang Dingin. ” Sementara itu, Pahlavi sendiri sebagai penguasa Iran ditengarai banyak terkait dengan British Anglo-Iranian Oil Company, sebuah perusahaan Inggris yang menguasai 51 persen minyak Iran yang diusahakan perusahaan itu sejak awal abad ke-20. Pada tahun 1950, kendali Inggris atas cadangan minyak Iran (dan keuntungan darinya) telah membuat marah politisi nasionalis. Sebuah gerakan fundamentalis yang sedang tumbuh kemudian menggunakan kekerasan terhadap Inggris untuk mengusir mereka. Tingkat keterlibatan Amerika di Iran menjadi semakin jelas pada tahun 1953.

Awak tank Soviet dari Divisi Tank ke-6 melewati jalan-jalan kota Tabriz, Iran dengan tank ringan T-26 mereka. Pada tahun 1941, Inggris dan Soviet bersama-sama menguasai Iran untuk mengamankan jalur logistik ke Soviet, mengamankan cadangan minyak, dan membatasi pengaruh Jerman di Iran. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Kru kereta api Inggris-Amerika membawa suplai ke Soviet melewati wilayah Iran selama Perang Dunia II. (Sumber: https://www.historynet.com/)

Pada tahun 1951, setelah pembunuhan perdana menteri Ali Razmara (yang diikuti oleh berkuasanya 2 PM lain yang singkat kekuasaannya), parlemen Iran kemudian memilih seorang nasionalis anti-Inggris, Mohammed Mosaddegh sebagai perdana menteri baru. Mosaddegh lalu menasionalisasi Anglo-Iranian Oil Company dan menyita asetnya, mengklaimnya sebagai milik pemerintah dan segera mendapat tanggapan kemarahan dari Inggris, yang sempat berencana menginvasi Iran untuk memulihkan hak-hak warganya. Di tengah situasi pergolakan ini Shah segera terlibat dalam perebutan pengaruh dengan Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadegh, yang, sejak pengangkatannya pada tahun 1951, telah memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Inggris. Setelah upaya yang gagal di bulan Agustus untuk menggulingkan Mossadegh, Shah kemudian melarikan diri ke Baghdad dan kemudian ke Roma. Belakangan bulan itu, pemerintahan Eisenhower yang baru berkuasa — berkomitmen untuk melindungi ekspor minyak Iran dan khawatir Mossadegh akan bersandar pada dukungan Uni Soviet — mengesahkan dilancarkannya kudeta gabungan AS / Inggris yang kedua. Presiden Dwight Eisenhower mengkhawatirkan akan pengaruh komunis yang tumbuh di Iran, dengan partai komunis Iran, Partai Tudeh, yang semakin menguatkan pengaruhnya selama tahun-tahun pemerintahan Mosaddegh. Mulai bulan Agustus 1953, agen CIA, Kermit Roosevelt mengorganisir massa antipemerintah, termasuk anggota klub gulat Teheran, yang memicu demonstrasi menentang pemerintah Mosaddegh dan menuntut dipulangkannya Shah. Sementara mereka berhasil memulihkan Shah ke tampuk kekuasaan, kudeta tersebut merenggut ratusan nyawa Iran, Mossadegh yang populer kemudian dipenjara karena pengkhianatan dan sejumlah pengikutnya dieksekusi. Para pengikutnya lalu tidak pernah melupakan atau memaafkan peran Amerika dalam kudeta tersebut. Setelah peristiwa ini Shah kemudian terus menerima dukungan tanpa henti dari setiap administrasi kepresidenan AS berikutnya saat ia terus memperlengkapi dengan persenjataan canggih untuk pasukannya, yang pada suatu waktu menjadi pembeli senjata terbesar di Amerika. Akhirnya, Amerika Serikat sempat memberinya wewenang untuk membeli reaktor nuklir untuk pembangkit listrik. 

PM Iran Mohammad Mossadegh. Aksi Mossadegh menasinalisasi Anglo-Iranian Oil Company dan menyita asetnya dianggap sebagai langkah berbahaya bagi Inggris. Sementara itu dibawah kepemimpinan Mossadegh, menurut Amerika, Partai Komunis Iran, Partai Tudeh, semakin menguatkan pengaruhnya. Kedua negara kemundian merancang kudeta untuk menurunkan Mossadegh pada tahun 1953. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Pendukung kudeta Mossadegh merayakan kemenangan di Teheran, Agustus 1953. Turunnya Mossadegh menandai semakin dalamnya pengaruh Amerika di Iran. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Dengan kembalinya kendali Shah, Amerika Serikat mulai memberi Iran bantuan militer dan ekonomi, dan Shah menjadi sekutu terpercaya Amerika Serikat dalam Perang Dingin. Iran pada masanya berfungsi sebagai pos “intelijen” Amerika di perbatasan selatan Uni Soviet dan juga sebagai pangkalan untuk pesawat mata-mata U-2. Selama tahun 1960-an dan 1970-an, Shah menerima miliaran dolar bantuan militer dari Amerika. Pemerintah Shah juga mengatur pembagian 50-50 dengan Amerika Serikat dari keuntungan Anglo-Iranian Oil Company. Shah diketahui juga turut mendukung pembentukan OPEC (Organisasi Negara Pengekspor Minyak) dan jadi salah satu inisiator embargo minyak tahun 1973 sebagai tanggapan atas terdesaknya militer negara-negara Arab saat Perang Yom Kippur melawan Israel. Dengan menaikkan harga minyak di Amerika, selain memperlemah dukungan terhadap Israel, hal itu di sisi lain juga semakin memperkaya dirinya dan rezimnya. Shah bagaimanapun secara bertahap juga memodernisasi dan membaratkan bangsanya selama beberapa dekade. Dia juga menghabiskan banyak uang untuk keluarga dan kepentingannya sendiri sementara rakyat Iran menderita secara ekonomi, yang pada akhirnya menambah ketidakpuasan rakyat dan memperbesar penentang rezimnya pada tahun 1970-an. Sementara itu, karena takut akan pertikaian internal, Shah meminta CIA untuk membantunya membuat polisi rahasia, dinas keamanan dan intelijen domestik, yang akronim Irannya adalah SAVAK. Dijelaskan oleh sejarawan David Farber sebagai “terkenal secara internasional karena kebrutalan, kekejaman, dan kreativitas mengerikan para penyiksanya”, organisasi itu ditakuti secara luas, dan dengan alasan yang bagus; ribuan pembangkang politik — banyak yang menghadapi penyiksaan dan kematian — segera menemukan diri mereka di penjara Iran tanpa diadili. Pada tahun 1963, muncul seorang pemimpin fundamentalis yang luar biasa di Iran. Meskipun banyak orang Amerika masih menganggapnya sebagai seorang fanatik yang berpikiran sempit, Ayatollah Ruhollah Khomeini adalah seorang individu yang terpelajar dan karismatik yang menggabungkan apresiasinya terhadap puisi Persia kuno dengan pengetahuan yang menyeluruh, dan pengabdiannya pada, Kitab Sucinya. Seorang ulama Muslim Syiah, ia memperoleh pengakuan nasional dengan apa yang oleh penulis Eugene Solomon disebut sebagai “dorongan moral dan kekuatan profetik yang menawan.” Khomeini berbicara di depan umum dan dengan keras menentang Amerika Serikat, Israel, dan Shah, dengan menyebut yang terakhir sebagai “orang yang malang dan sengsara.” Pada tahun 1964, Shah mendesak ulama itu pergi ke tempat yang akan menjadi pengasingannya selama 15 tahun di Turki, Irak, dan Prancis.

Pada masa kekuasaannya, Shah sebenarnya turut membawa modernisasi dan meningkatkan literasi warga Iran. (Sumber: https://allthatsinteresting.com/)
Kaum muda Iran pada masah Shah. Shah memang ingin memodernisasi Iran, namun disatu sisi dia dianggap berupaya membaratkan Iran, yang mana di satu dan lain hal, tuduhan itu bukannya tidak berdasar. (Sumber: https://allthatsinteresting.com/)
F-14 Tomcat AU Iran. Di bidang militer, Shah berambisi menjadi superpower kawasan. Pembelian F-14 Tomcat yang mahal adalah salah satunya. Hanya Iran dan Amerika yang mengoperasikan pesawat legendaris ini. (Sumber: https://www.jejaktapak.com/)

DILEMA JIMMY CARTER

Pada akhir tahun 1970-an, gelombang kemarahan dan kebencian anti-Shah dan anti-Amerika, dikombinasikan dengan tren yang berkembang menuju gerakan fundamentalisme Syiah, telah membawa Iran ke ambang revolusi. Ironisnya, presiden AS yang menjadi target puluhan tahun kebencian anti-Barat bisa dibilang adalah pembela hak asasi manusia yang paling berkomitmen untuk menduduki Gedung Putih sejak Abraham Lincoln. Beberapa dari musuh politiknya yang paling gigih mempertanyakan niat baik dari Jimmy Carter, si Presiden terpilih. Moralitas Kristen dan keyakinannya pada kebaikan bawaan manusia, di awal tak membuatnya terlihat menonjol dalam kampanye presiden 1976 yang ternyata terbukti sangat sukses. Hampir tidak dikenal hanya beberapa bulan sebelum pemilihan, ia memenangkan kursi kepresidenan dengan meraih hampir 50 persen suara populer. Kepresidenan Carter sendiri dimulai dengan positif. Seorang pendatang baru dalam urusan internasional, ia mengadakan 60 pertemuan dengan kepala negara asing di tahun pertamanya. Catatannya tentang hak asasi manusianya sangat bagus, dan dia tidak malu melaporkan pelanggaran hak sipil di negara lain. “Saya merasa sangat tergerak,” katanya dalam rapat kota tahun 1977, “bahwa ketika orang dipenjara tanpa pengadilan dan disiksa serta dicabut hak asasi manusia dasarnya, presiden Amerika Serikat harus memiliki hak untuk mengungkapkan ketidaksenangan dan untuk melakukan sesuatu tentang itu. ” Sikapnya yang tampaknya tidak fleksibel memberikan dorongan gerakan perlawanan di negara-negara seperti Rusia dan Polandia. Saat dia menulis kepada pembangkang Soviet dan penerima Hadiah Nobel Perdamaian Andrei Sakharov pada Februari 1977, “Kami akan menggunakan jasa baik kami untuk membebaskan tahanan hati nurani.” Pada bulan September 1978 Carter mencapai hal yang tampaknya mustahil. Selama tinggal dua minggu yang kontroversial di tempat peristirahatan presiden Camp David, Md., Ia membawa Perdana Menteri Israel Menachem Begin dan Presiden Mesir Anwar Sadat ke meja perdamaian, bergantian berunding dengan, membujuk, memohon dan menggertak mereka untuk menandatangani “Kerangka Kerja untuk Menghasilkan Perjanjian Perdamaian Antara Mesir dan Israel. ” Itu adalah sebuah diplomasi kelas dunia di pihak Carter, di mana kedua penandatangannya lalu berbagi Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1978.

Presiden Jimmy Carter (tengah), menjadi juru damai antara Anwar Sadat (kiri) dari Mesir dan Menachem Begin dari Israel pada bulan September 1978. Perjanjian damai antara Mesir dan Israel adalah pencapaian besar kepresidenan Carter. (Sumber: https://warontherocks.com/)
Hak asasi manusia adalah landasan kebijakan luar negeri Presiden Jimmy Carter. Pesan presiden Carter nampak pada papan reklame dengan fotonya di Liberia. (Foto: AP / Michel Lipchitz / https://theconversation.com/)

Namun, sejak awal pemerintahannya, Carter telah menghadapi masalah-masalah yang, meskipun mungkin bukan buatannya, akan membawa pada kehancurannya. Untuk satu hal dia mewarisi ekonomi pasca-Perang Vietnam yang buruk dan dengan cepat menjadi lebih buruk. Selama pemerintahannya, pasar saham mencapai titik terendahnya dalam 28 tahun, pengangguran meningkat, defisit perdagangan negara meningkat dan negara mengalami krisis energi yang menyebabkan biaya gas dan minyak melonjak dan jalur pompa bensin semakin panjang. Carter memohon kepada orang-orang Amerika untuk mengencangkan ikat pinggang mereka dan meminta para pemimpin industri untuk menahan harga dan upah sampai krisis berlalu. Sayangnya bagi Carter, solusi “pengendalian secara sukarela” miliknya bukanlah pesan yang ingin didengar orang, dan peringkat kepuasan masyarakat Amerika pada kepemimpinannya anjlok. Semakin memperburuk masalah, presiden terbukti tidak efektif saat berurusan dengan pihak Kongres. Carter sendiri dianggap bisa bertahan pada pendiriannya sampai titik keras kepala, perasaannya yang kuat tentang “kerendahan hati Kristen”, sebagaimana sejarawan Douglas Brinkley menyebutnya, sering kali tampil serupa dengan sikap pembenaran diri yang nampak layaknya kesombongan dan keangkuhan. Dan dia sering terjebak dalam banyak detail. Menurut James Fallows, mantan penulis pidato utama Carter, “(Presiden) sering kali tampak lebih peduli dengan mengambil posisi yang benar daripada mempelajari bagaimana mengubah posisi itu menjadi hasil.” Meskipun bertugas di pemerintahan di mana politisi kerap membuat kesepakatan dan mengesahkan undang-undang atas dasar prinsip “memberi-dan-menerima”, Carter sering menolak untuk berkompromi dan dengan tegas menolak tindakan berdasarkan kebijaksanaan politik. Seperti yang diamati oleh anggota kongres veteran dan Ketua DPR Tip O’Neill, “Dia tidak pernah mengerti bagaimana sistem (pemerintahan) itu bekerja.” 

Demo mengenai ekonomi yang buruk di masa pemerintahan Jimmy Carter. Carter bisa dibilang tidak beruntung saat menjabat sebagai presiden Amerika yang mewarisi ekonomi yang buruk setelah perang Vietnam dan melambungnya harga minyak. Sementara itu para penasehatnya menilai Carter terlalu kaku dalam bersikap saat memerintah. (Sumber: https://www.thoughtco.com/)

Selama pencalonannya sebagai presiden, Jimmy Carter pernah menyatakan, “Jangan pernah lagi negara kita terlibat secara militer dalam urusan internal negara lain kecuali ada ancaman langsung dan nyata terhadap keamanan Amerika Serikat atau rakyatnya.” Ironisnya, satu arena di mana sikap itu tampaknya tidak berlaku adalah dalam kaitan hubungannya dengan Iran. Carter melihat hubungan AS dengan Shah sebagai hubungan yang sudah berlangsung lama dan harus dihormati, sukses, serta dianggap perlu. Dengan mempertimbangkan kedekatan Iran dengan perbatasan Soviet, posisinya sebagai sumber minyak yang aman dan kekuatan militernya yang tumbuh di wilayah tersebut, Carter bersedia menutup matanya terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang terkenal kejam oleh Shah, sebagai gantinya ia memilih kebijakan yang mungkin bisa disebut sebagai “moralitas situasional” —atau terus terang, berbohong kepada diri sendiri. Saat bersulang pada Malam Tahun Baru 1977 pada jamuan makan malam kenegaraan di Teheran, Carter berkata, “Iran, karena kepemimpinan Shah yang hebat, adalah laksana pulau stabil di salah satu wilayah paling bermasalah di dunia.” Namun dalam waktu seminggu setelah acara Carter di televisi, demonstrasi anti-Shah mengguncang jalan-jalan di ibu kota Iran. Mahasiswa pengunjuk rasa membakar dan menginjak-injak bendera Amerika dan patung presiden, dan polisi menembaki para pengunjuk rasa, menewaskan beberapa orang.

Shah Reza Pahlavi sebagai pemimpin Iran diketahui mendapat dukungan kuat dari negara-negara barat, dan utamanya dari Amerika yang dipimpin oleh Jimmy Carter. (Sumber: https://billofrightsinstitute.org/)
Oknum yang dicurigai sebagai agen SAVAK, ditangkap dan ditutup matanya oleh Pengawal Revolusi. Pemerintahan Carter dalam beberapa waktu seolah menutup mata atas aksi represif rezim Shah, sialnya lagi informasi intelijen Amerika di Iran umumnya disuplai oleh SAVAK, sehingga mereka tidak menyadari sepenuhnya kebencian rakyat Iran pada Shah. (Sumber: Abbas / Gamma / https://newint.org/)

Penasihat keamanan nasional Carter, Zbigniew Brzezinski, kemudian berkomentar, “Kami tahu ada beberapa kebencian, kami (hanya) tahu sedikit tentang sejarah negara ini, tetapi kami tidak sadar, juga tidak diberi tahu, tentang intensitas perasaan itu.” Seperti yang diamati oleh juru bicara Departemen Luar Negeri, Hodding Carter III: “Informasi yang kami peroleh dari Iran sangat buruk hingga bisa dibilang tidak ada. Kami tidak memiliki siapa pun yang bisa berbicara bahasa Persia, dan apa yang dianggap data intelijen oleh kami adalah apa yang diberikan kepada kami oleh SAVAK, karena Shah, meskipun dia paranoid, telah mendapat persetujuan dari kami bahwa kami tidak akan menyusup ke Iran dengan orang-orang intelijen kami sendiri. Shah sendiri telah menjadi sumber utama informasi kami tentang perbedaan pendapat internal di Iran! ” Pada akhir tahun 1978, polisi rahasia membubarkan protes Umat Syiah di kota suci Qom. Kebangkitan mereka didasarkan pada perlawanan terhadap Shah dan Amerika Serikat. Khomeini yang diasingkan lalu menghubungkan keduanya dan mulai menyebut Amerika Serikat sebagai “Setan Besar”. Sementara itu dipandu oleh kebijakan luar negeri yang demokratis dan  mengedepankan moralitas, pemerintahan Carter pada akhirnya menekan Shah untuk mereformasi pemerintahannya dan meningkatkan kontak dengan kelompok-kelompok yang berbeda pendapat dengannya. Tapi itu semua sudah terlambat. Pada bulan Januari 1979, Shah, yang diam-diam menderita kanker, meninggalkan negara itu untuk menuju pengasingan (awalnya di Mesir, dan kemudian Maroko).

KHOMEINI DAN KRISIS PENYANDERAAN 

Setelah kepergian Shah, pada tanggal 1 Februari 1979, Khomeini menanggapi peningkatan dukungan dari rakyat terhadap dirinya memutuskan mengakhiri pengasingannya dan kembali ke Iran. Dua minggu sebelumnya Shah — yang dilemahkan oleh kanker dan dihadapkan pada pemberontakan tentara dan kerusuhan di jalanan — telah turun tahta, meninggalkan Khomeini sebagai pemimpin tertinggi Iran dalam masa transisi yang kacau balau. Meskipun rakyat Iran akan segera memilih ekonom dan politikus Abolhassan Banisadr sebagai presiden pasca-revolusi pertama, tidak ada yang mempertanyakan siapa yang sebenarnya menjalankan negara. Setibanya di sana, Khomeini menyerukan pengusiran semua orang asing, dan Departemen Luar Negeri AS segera mengevakuasi sekitar 1.350 orang Amerika. Mahasiswa pengunjuk rasa di Teheran sendiri diketahui belum berkonsultasi dengan Khomeini sebelum serangan mereka pada tanggal 4 November 1979 di Kedutaan Besar AS, dan ketika dia pertama kali mendengar bahwa mereka telah mengambil kompleks tersebut, dia menanggapi dengan jengkel dan memerintahkan mereka (para mahasiswa) “diusir.” Namun setelah memikirkan kembali, dia membalikkan sikapnya, dengan melihat pengambilalihan kedutaan itu sebagai kesempatan sempurna untuk menantang “Setan Besar,” bagaimana dia menyebut Amerika Serikat. Hal ini akan berfungsi untuk memusatkan perhatian internasional pada keterlibatan Amerika selama puluhan tahun di Iran. Para sandera itu sendiri akan berfungsi sebagai bidak, untuk dipertukarkan hanya ketika Syah yang diasingkan dikembalikan untuk diadili dan, mungkin, dieksekusi. Yang terpenting, aksi itu akan memperkuat basis kekuatan Khomeini. Sejak awal krisis, kembalinya Shah adalah kondisi yang tidak bisa dinegosiasikan bagi Iran. Ketika Carter dipandang dengan “murah hati” mengizinkan Syah untuk memasuki Amerika Serikat pada bulan Oktober itu untuk menjalani dan memulihkan diri dari operasi atas penyakit yang dideritanya, kaum revolusioner Iran mencurigai rencana kudeta lain sedang dilakukan oleh Amerika. Faktanya departemen Luar Negeri Amerika, sebenarnya telah menolak permintaan Shah tersebut, karena memahami masalah politik yang akan ditimbulkan. Tetapi setelah menerima beberapa tekanan dari tokoh-tokoh berpengaruh termasuk mantan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger dan Ketua Dewan Hubungan Luar Negeri, David Rockefeller, pemerintahan Carter memutuskan untuk mengabulkan permintaan Shah.

Ayatollah Ruhollah Khomeini kembali ke Iran, Februari 1979, untuk mengakhiri masa pengasingannya selama 15 tahun di luar negeri. Setelah kembali, dalam waktu singkat Khomeini menjadi pemimpin de-facto Iran, hingga kematiannya tahun 1989. (Sumber: https://billofrightsinstitute.org/)

“Amerika Serikat membuat kesalahan dengan menerima Shah,” kata salah seorang penyandera, Saeed Hajjarian kepada GQ. “Orang-orang di Iran sangat sensitif terhadap masalah ini. Jika mereka (Amerika) tidak menerimanya (Shah), tidak akan terjadi apa-apa. ” Carter sendiri menyadari potensi kerugian bagi Amerika karena menyediakan perlindungan bagi Syah. Setelah membuat keputusan yang sulit, dia beralih ke penasihat keamanan nasional Gary Sick dan bertanya, “Saya hanya ingin tahu nasihat apa yang akan Anda berikan kepada saya ketika mereka menyandera orang-orang kita.” Apa yang dikhawatirkan Carter menjadi kenyataan. Lebih buruk lagi, para pendukung pengambilalihan kedutaan tersebut mengklaim bahwa pada tahun 1953, Kedutaan Besar Amerika telah bertindak sebagai “sarang mata-mata” tempat kudeta pada PM Mossadegh diselenggarakan. Hal ini semakin dijustifikasi dari dokumen, yang kemudian ditemukan di kedutaan yang menunjukkan bahwa beberapa anggota staf kedutaan telah bekerja dengan Badan Intelijen Pusat. Kemudian, CIA sendiri lalu mengkonfirmasi perannya dan Dinas Rahasia Inggris MI6 dalam Operasi Ajax untuk menggulingkan Mossadegh. Setelah Shah menjalani pengobatan di Amerika Serikat, Ayatollah Khomeini menyerukan demonstrasi rakyat Iran dilakukan di jalanan. Tim-tim revolusioner memamerkan dokumen-dokumen rahasia yang konon diambil dari kedutaan, kadang-kadang dengan susah payah direkonstruksi setelah dihancurkan menjadi potongan-potongan kertas kecil, untuk mendukung klaim mereka bahwa “Setan Besar” (AS) mencoba untuk menggoyahkan rezim baru dan bahwa kaum moderat Iran bersekutu dengan AS Dokumen – termasuk telegram, korespondensi, dan laporan dari Departemen Luar Negeri AS dan CIA – diterbitkan dalam serangkaian buku yang disebut “Document From The US Spionage Den” (Persia: اسناد لانه جاسوسی امریكا). Menurut buletin Federasi Ilmuwan Amerika tahun 1997, pada tahun 1995, 77 volume dari dokumen ini telah diterbitkan. Banyak dari volume ini sekarang tersedia secara online.

Mengantisipasi pengambilalihan kedutaan, pihak Amerika mencoba menghancurkan dokumen rahasia di tungku api. Namun karena tungku tidak berfungsi dan staf terpaksa menggunakan penghancur kertas murahan. Para penenun karpet Iran yang terampil kemudian dipekerjakan untuk merekonstruksi dokumen tersebut. Dari dokumen ini, otoritas Iran mendapat informasi berharga mengenai aktivitas ilegal Amerika di Iran. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Sementara itu, para sandera merasakan seperti apa kehidupan di bawah para penculik mereka. Pada awalnya, mereka diperlakukan sebagai diplomat, tetapi setelah pemerintahan sementara Iran jatuh, perlakuan terhadap mereka memburuk. Pada bulan Maret, pintu ke tempat tinggal mereka tetap “dirantai dan digembok”. “Akhirnya, mereka memasukkan kami ke dalam kamar dengan penjagaan 24 jam,” kenang atase pers kedutaan, Barry Rosen. “Kami diikat, tangan dan kaki. Anda merasa seperti layaknya sepotong daging mentah. ” Rosen mencatat kecenderungan mengganggu dari orang Iran untuk menghancurkan mental: “Mereka akan menghajar Anda, dan kemudian mereka akan bertanya, ‘Kapan semua ini sudah berakhir, dapatkah saya mendapatkan visa?’” Para penculik memasukkan beberapa tawanan ke dalam lemari atau menguncinya di ruangan yang gelap. “Rasanya seperti tinggal di kuburan,” kenang Wakil Konsul Richard Queen. Mereka juga menggunakan orang-orang lain untuk seolah-olah akan dieksekusi, yang nampaknya untuk sekedar hiburan mereka. Kurang dari dua minggu setelah serangan itu, Iran membebaskan 13 dari 66 sandera. Delapan orang berkulit hitam, dengan siapa para penyerang mengklaim aksi mereka itu didasarkan perasaan solidaritas sebagai minoritas yang tertindas sekaligus mencoba menyebabkan perpecahan dalam opini publik Amerika dengan menarik radikalisme orang kulit hitam di Amerika Serikat. Lima sandera lainnya yang dibebaskan adalah perempuan, dimana dalam klaim Khomeini, hal ini dilakukan karena Islam menghormati perempuan. Sebelum dibebaskan, para sandera ini diminta oleh para penculiknya untuk mengadakan konferensi pers di mana Kathy Gross dan William Quarles memuji tujuan revolusi Iran. Sementara itu 53 tawanan lainnya yang tersisa dilarang untuk berbicara satu sama lain, meskipun beberapa diantaranya menemukan metode komunikasi yang cerdas melalui catatan dan gerakan rahasia. Pemerintah Iran kemudian menggunakan media Amerika, yang fokusnya seperti sinar laser pada krisis sandera, untuk keuntungan mereka. Penyiar ABC News, Ted Koppel lalu memulai program malam, “America Held Hostage,” yang kemudian berubah menjadi program berita larut malam Nightline. Sementara itu, di Amerika, seorang charge d’affaires Iran, Ali Agha, menyerbu masuk ke sebuah pertemuan dengan seorang pejabat Amerika, berseru: “Kami tidak memperlakukan sandera dengan buruk. Mereka diurus dengan sangat baik di Teheran. Mereka adalah tamu kami.”

Meskipun kemarahan Iran pada pemerintah Amerika dapat dipahami, namun perlakuan buruk mereka pada para sandera tidak dapat dibenarkan dan menjadi noda hitam dalam sejarah Iran. Bagi para sandera, pengalaman ditahan 444 hari menjadi mimpi buruk yang tidak akan mereka lupakan sepanjang sisa hidup mereka. (Sumber: https://www.theaustralian.com.au/)

Faktanya perlakuan sebenarnya yang dialami para sandera jauh berbeda. Para sandera menggambarkan adanya aksi pemukulan, pencurian, dan ketakutan akan cedera pada tubuh. Dua dari mereka, William Belk dan Kathryn Koob, teringat saat diarak dengan mata tertutup di hadapan kerumunan orang yang marah dan berteriak di luar kedutaan. Satu sandera, Michael Metrinko, sempat dikurung di sel isolasi selama berbulan-bulan. Dalam dua kesempatan, ketika dia mengutarakan pendapatnya tentang Ayatollah Khomeini, dia dihukum berat. Pertama kali, dia diborgol selama dua minggu, dan untuk kedua kalinya, dia dipukuli dan ditahan sendirian di sel yang dingin selama dua minggu. Sandera lainnya, petugas medis Angkatan Darat AS Donald Hohman, melakukan mogok makan selama beberapa minggu, sementara dua sandera lain mencoba bunuh diri. Steve Lauterbach memecahkan gelas air dan menyayat pergelangan tangannya setelah dikunci di ruang bawah tanah yang gelap dengan tangan terikat erat. Dia ditemukan oleh penjaga dan dilarikan ke rumah sakit. Jerry Miele, seorang teknisi komunikasi CIA, membenturkan kepalanya ke sudut pintu, membuat dirinya pingsan dan membuat luka yang dalam. “Secara alami punya karakter menarik diri” dan tampak “sakit, tua, lelah, dan rentan,” Miele segera menjadi sasaran lelucon para pengawalnya, dan mereka telah memasang kursi listrik tiruan untuk menekankan nasib yang akan menantinya. Akan tetapi setelah melihat lukanya yang parah, rekan sandera lalu memberikan pertolongan pertama dan membunyikan alarm, dan dia dibawa ke rumah sakit setelah penundaan lama yang dibuat oleh para penjaga Iran-nya. Sandera lain menggambarkan adanya ancaman dari para penyandera Iran, untuk merebus kaki mereka dalam minyak (Alan B. Golacinski), mencungkil mata mereka (Rick Kupke), atau menculik dan membunuh seorang anaknya yang mengalami disabilitas di Amerika dan “mulai mengirimkan potongan-potongannya ke istrinya “(David Roeder). Sementara itu empat sandera mencoba melarikan diri, dan semua dihukum dengan kurungan isolasi ketika upaya mereka diketahui.

AMERIKA DIPERMALUKAN 

Dengan berlalunya hari, para sandera tidak mendengar berita apa pun kecuali apa yang diberikan oleh penculiknya kepada mereka. Para sandera kini semakin tidak yakin dengan situasi mereka, dimana apa yang ada di pikiran mereka adalah bagaimana caranya bisa kembali ke rumah. Pada Natal itu, orang-orang Iran mengizinkan empat pendeta untuk mengunjungi para tawanan di sebuah ruangan yang sarat dengan makanan dan dekorasi pesta. Tetapi ketika liburan berakhir, mereka mengembalikan para sandera ke kondisi seperti penjara. “Di Amerika,” kata Uskup Auksilier Katolik Roma, Thomas Gumbleton dari Detroit, salah satu pendeta itu, “para sandera menjadi berita setiap hari, tetapi mereka (para sandera itu sendiri) tidak merasakannya. Mereka merasa seperti telah ditinggalkan. ” Pada akhir bulan Januari, para penculik akhirnya mengizinkan para sandera untuk berbicara. Bagi banyak tawanan, waktu tidak lagi memiliki arti. “Itu terus berlanjut,” kenang pejabat politik, Michael Metrinko. “Itu bukanlah sesuatu yang mereka umumkan pada jam 9 pagi, dengan mengatakan ‘Oh, kami telah memutuskan untuk menahanmu selama 14 bulan.’ Di balik itu, para sandera tidak menyadari bahwa tim negosiator yang dipimpin oleh Wakil Menteri Luar Negeri AS, Warren Christopher sedang bekerja keras untuk membebaskan mereka. Masalahnya yang kompleks, dengan konsekuensi di bidang militer, politik, sosial dan ekonomi yang luas, membuat proses negosiasi amat sulit. “Carter dan banyak penasihat kuncinya tampaknya benar-benar percaya bahwa Khomeini gila dan tidak rasional,” kata sejarawan Farber. “Mereka terus berharap bahwa orang-orang yang lebih bijaksana, lebih waras, dan lebih rasional akan mengambil alih kekuasaan di Iran.” Dipaksa untuk berurusan dengan rezim dalam kekacauan terus-menerus, dan frustrasi dalam upaya mereka untuk mencapai penyelesaian yang terhormat, para negosiator AS tidak menemukan kejelasan atau bisa bernegosiasi dengan juru bicara Iran yang dapat diandalkan. Wakil Penasihat Keamanan Nasional David Aaron mengenang kebingungan tersebut, sebagai berikut: “Seseorang akan melangkah maju dan berkata, ‘Saya memiliki kewenangan,’ dan mereka akan memulai negosiasi. Kemudian Khomeini akan segera berkata, ‘Kamu pro-Amerika, kamu menjual revolusi,’ dan orang itu akan kehilangan pekerjaan dan terkadang nyawanya. ” 

Pita kuning adalah simbol ketetapan hati orang Amerika untuk membawa semua sandera pulang dengan selamat. (Sumber: http://www.robinsonlibrary.com/)
Sampul majalah Time yang menyoroti kemampuan Carter dalam menangani provokasi dari rezim Khomeini. Pada masa-masa krisis penyanderaan, Presiden Carter mendapat tekanan besar, bahkan dari istrinya sendiri yang mengungkapkan ketidaksabaran orang Amerika atas krisis yang berlarut-larut. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Orang-orang Amerika sekarang sudah tidak berminat lagi untuk bersabar. Terganggu di bawah masalah yang melanda negara, banyak yang melihat proses negosiasi yang berlarut-larut sebagai indikasi lebih lanjut dari kelemahan pemerintahan Carter. Reputasi Amerika di luar negeri juga terpukul, saat dunia menyaksikan sebuah negara di Timur Tengah yang kecil dan terpecah-pecah bisa mengguncang negara terkuat dalam sejarah. Jurnalis Roger Wilkins menyimpulkan kesan: “Seluruh dunia melihat gambar-gambar ini dari orang-orang ini yang membakar bendera Amerika, menginjak gambar Carter, dan melakukan berbagai jenis rasa tidak hormat dan kebencian yang paling ekstrem pada Amerika Serikat, di televisi, di seluruh dunia, dan hampir di sepanjang waktu.” Pada musim semi tahun 1979, orang-orang Amerika telah menghiasi pohon dan tiang lampu di seluruh negeri dengan pita kuning untuk mengenang para sandera dan menuntut presiden untuk membawa mereka pulang. Bahkan istri Carter, Rosalynn, menekannya untuk lebih proaktif. “Saya akan berkata, ‘Mengapa Anda tidak melakukan sesuatu?’ Dan dia (Carter) berkata, ‘Apa yang Anda ingin saya lakukan?’ Saya berkata, ‘Ranjaulah pelabuhan mereka (sebuah taktik yang sukses dilakukan Amerika di Vietnam Utara tahun 1972-1973).’ Carter kemudian menjawab, ‘Oke, seandainya saya meranjau pelabuhan mereka, dan mereka memutuskan untuk mengambil satu sandera setiap hari dan membunuhnya. Lalu apa yang akan saya lakukan? ‘” Carter sendiri terbukti tidak memiliki pengaruh dan daya tawar untuk membebaskan para sandera dan hanya memiliki sedikit pilihan. Pada bulan April 1980, dia membekukan aset Iran dan mencegah suku cadang peralatan militer buatan Amerika dikirim ke Iran, hal ini cukup melemahkan militer Iran, yang pada bulan September 1980 diinvasi tetangganya, Irak. Tapi invasi Soviet ke Afghanistan pada 24 Desember 1979, semakin menambah masalah Carter. Dia lalu bersikap keras dengan Soviet, dengan membatalkan perjanjian kontrol senjata, memboikot keikutsertaan kontingen Amerika dalam Olimpiade Moskow tahun 1980, dan mengakhiri pengiriman bahan makanan ke Uni Soviet. Dia juga mengumumkan diberlakukannya Doktrin Carter, yang menyatakan bahwa setiap tindakan Soviet di Teluk Persia akan dianggap sebagai ancaman langsung bagi Amerika Serikat, tetapi popularitasnya terus merosot karena pemirsa Amerika diingatkan setiap hari tentang ketidakmampuannya untuk membebaskan para sandera.

Ujian politik luar negeri pemerintahan Carter makin diuji saat Soviet menginvasi Afghanistan Desember 1979. Menanggapi hal ini pemerintahan Carter memutuskan untuk menghentikan ekspor bahan makanan ke Soviet dan memboikot keikutsertaan mereka di Olimpiade yang akan dilaksanakan di Moskow tahun 1980. (Sumber: https://warontherocks.com/)

OPERASI EAGLE CLAW

Awalnya, Carter bersikeras menolak mempertimbangkan penggunaan kekerasan. “Masalahnya,” dia beralasan, “adalah kita bisa merasa nyaman selama beberapa jam — sampai kita menemukan bahwa mereka telah membunuh orang-orang kita.” Namun, akhirnya, setelah berbulan-bulan gagal di meja perundingan, dia menyimpulkan, “Kami tidak bisa lagi bergantung pada diplomasi.” Bertentangan dengan nasihat kuat dari Menteri Luar Negeri Cyrus Vance, presiden Carter kemudian mengizinkan operasi penyelamatan militer yang diberi nama “Eagle Claw” dan operasi ini akan dijalankan oleh unit yang terdiri dari 132 prajurit yang diambil dari Detasemen Operasi Pasukan Khusus ke-1 Angkatan Darat (alias Pasukan Delta/Delta Force) dan Resimen Ranger ke-75; 15 penerjemah; tiga pesawat angkut MC-130 Combat Talon; tiga pesawat tanker EC-130E Commando Solo; dua pesawat angkut C-141 Starlifter (semuanya dari Angkatan Udara); delapan helikopter Angkatan Laut tipe RH-53D Sea Stallion yang berbasis di atas kapal induk USS Nimitz di Laut Arab; dan berbagai pesawat tempur elektronik dan pendukung dari Angkatan Laut dan Angkatan Udara lainnya. Misi penyelamatan direncanakan terdiri dari dua bagian operasi. Tugas pertama adalah membangun area persiapan, yang disebut Desert One, di lokasi terpencil di wilayah gurun Iran tengah. Pesawat MC-130 akan terbang dengan pasukan Delta dari sebuah pulau di wilayah Oman. Para prajurit kemudian akan naik helikopter RH-53D dan terbang ke pangkalan penyerangan, Desert Two, sekitar 50 mil di luar Teheran. Pada malam kedua operasi, operator Delta akan berkendara melalui darat ke Teheran dan menyerang kompleks kedutaan. Setelah melenyapkan pasukan musuh dan mengamankan sandera, tim akan bertemu dengan helikopter yang mendarat di stadion Teheran, untuk kemudian dibawa ke pesawat angkut yang sudah menunggu dan meninggalkan Iran mengakhiri krisis sandera.

Pada bulan April tahun 1980, pemerintah Carter meluncurkan Operasi Eagle Claw untuk membebaskan sandera di Iran. Operasi ini gagal total dengan merenggut nyawa 8 personel militer Amerika. (Sumber: https://ronaldtkwong.com/)
Sebuah helikopter yang tidak rusak ada di belakang sisa-sisa helikopter AS kedua di gurun Iran Dasht-E-Kavir, 26 April 1980. Situs itu, sekitar 300 mil dari Teheran, adalah tempat upaya penyelamatan Amerika Serikat untuk mereka yang atas warga mereka yang disandera di Teheran, di mana sebuah helikopter dan pesawat angkut AS bertabrakan. (Sumber: https://www.militarytimes.com/)
Sampul majalah Time menanggapi kegagalan Carter dalam Operasi Eagle Claw. (Sumber: https://www.cato.org/)

Diluncurkan pada tanggal 24 April 1980, serangan itu kemudian terbukti gagal total. Satu helikopter RH-53D dikirimkan mengalami kerusakan dan terpaksa ditinggalkan di gurun (kemudian dirampas dan digunakan Iran hingga kini). Helikopter yang tersisa terbang ke dalam badai debu, yang memaksa satu diantaranya untuk berbalik dan merusak perangkat hidrolik dari Helikopter lainnya. Tinggal hanya tersisa lima helikopter yang operasional, komandan elemen darat, Kolonel Charles Beckwith, seorang personel Baret Hijau kawakan veteran Perang Vietnam, dengan berat hati terpaksa memilih untuk membatalkan operasi. Kemalangan tidak berhenti sampai disitu, saat salah satu helikopter RH-53D bermanuver untuk memberi ruang bagi EC-130 yang akan berangkat, ia menghantam ekor pesawat tanker dan menabrak pangkal sayapnya. Ledakan yang dihasilkan lalu menewaskan delapan prajurit. Meninggalkan reruntuhan dan sisa-sisa rekan mereka yang hangus, tim yang penuh dengan kekecewaan itu kembali ke pangkalannya. “Kami meninggalkan delapan orang di tumpukan puing-puing di tengah gurun,” kenang perwira operasi Delta Force, Mayor Bucky Burruss. “Itu adalah sesuatu yang akan kamu ingat selamanya.” Selain itu, Iran kemudian menemukan sisa-sisa delapan anggota tentara Amerika yang telah meninggal dan mempertontonkannya di kompleks Kedutaan Besar AS di Teheran. Presiden Carter kemudian menyatakan bertanggung jawab penuh atas upaya penyelamatan yang gagal, sedangkan reputasinya menderita pukulan yang tidak pernah pulih. Sebuah judul sampul di majalah Time menulis “Debacle in the Desert” menyatakan, “Gambarannya (Carter) sebagai orang yang tidak berdaya telah diperbarui.” Sebelumnya, Carter juga dianggap tidak bisa berbuat apa-apa saat tentara Soviet menginvasi Afghanistan bulan Desember 1979. The Washington Post kemudian hanya menyatakan bahwa Carter “tidak layak menjadi presiden pada saat krisis”. Meski tidak ada upaya penyelamatan lebih lanjut; Iran bagaimanapun tetap merelokasi para sandera. “Mereka panik dan menyebarkan kami ke seluruh negeri dalam waktu 48 jam,” kenang atase militer kedutaan, Joseph Hall. “Saya pikir saya telah dipindahkan 17 kali selama dua bulan kemudian.” 

AKHIR PAHIT BAGI CARTER

Pada tanggal 11 Juli, hari ke-250 krisis, Wakil Konsul, Richard Queen bergabung dengan 13 sandera lainnya yang dibebaskan setelah seorang dokter menemukan dia menderita sklerosis ganda. Dengan pembebasannya, maka masih menyisakan 52 orang di penahanan. Dengan kemungkinan adanya aksi militer mengecil, satu-satunya harapan mereka untuk bisa dibebaskan adalah lewat kesuksesan diplomasi. Enam belas hari kemudian Syah meninggal di rumah sakit Mesir. Karena kepulangannya adalah syarat utama untuk membebaskan para sandera, banyak orang di Washington lalu berharap kematiannya akan mengakhiri cobaan berat itu. Tapi ternyata tidak ada perubahan dalam sikap Iran. Sementara itu, hari Pemilu tahun itu jatuh pada tanggal 4 November, tepat satu tahun hari peringatan pengambilalihan kedutaan, sebuah kebetulan yang semakin menyoroti kemenangan telak yang kemudian akan diperoleh Ronald Reagan, lawan Carter dalam pemilu. Carter kemudian menghadapi tenggat waktu yang ketat jika dia masih ingin mengupayakan pembebasan para sandera dalam sisa masa jabatannya. Pada tanggal 19 Januari 1981, dalam kesepakatan yang ditengahi oleh mediator asal Aljazair, para pihak akhirnya mencapai resolusi yang memuaskan, jika tidak dapat dibilang sebagai kesepakatan bersama. Di antara konsesi yang memalukan lainnya dalam kesepakatan itu, negosiator asal Amerika berjanji bahwa Amerika Serikat “tidak akan campur tangan secara politik atau militer dalam urusan internal Iran” dan setuju untuk melepaskan hampir $ 8 miliar aset Iran yang dibekukan oleh pemerintahan Carter pada masa awal krisis. Warren Christopher menandatangani perjanjian itu pada tanggal 19 Januari 1981, hari terakhir Carter menjabat. Kini yang tersisa bagi Iran hanyalah bagaimana mereka menghormati bagiannya dari kesepakatan itu. Pada jam-jam terakhir di Gedung Putih, Carter dan penasihat seniornya terjaga sepanjang malam di Ruang Oval, menunggu panggilan yang mengumumkan pembebasan para sandera. Pagi hari esoknya adalah hari pelantikan Reagan sebagai presiden ke-40 Amerika Serikat, dan Carter ingin mendapat kepuasan mengetahui bahwa 52 sandera Amerika yang telah lama menderita dibebaskan dalam masa kepemimpinannya.

Parade Ronald Reagan pada hari dia menggantikan Carter, 20 Januari 1981. Pada hari yang sama, para sandera di Iran dibebaskan. Hal ini memupus harapan Carter yang ingin krisis penyanderaan di Iran diselesaikan sepenuhnya saat ia masih menjabat. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Para sandera turun dari “Freedom One”, pesawat Boeing C-137 Stratoliner Angkatan Udara Amerika, setelah mereka kembali dari Iran. (Sumber: https://judolphinmedia.com/)

Sayangnya bagi Carter hal itu tidak terjadi. Hanya setelah Reagan mengambil sumpah jabatan dan menyelesaikan pidato pelantikannya, sebuah pesawat yang membawa para sandera meninggalkan Teheran menuju Jerman Barat. Itu adalah tamparan terakhir bagi pria yang telah bekerja dengan sebijaksana mungkin — dan pada akhirnya, berhasil — selama 14 bulan untuk membebaskan orang-orang sebangsanya. Kemudian menjadi tanggung jawab Reagan untuk mengumumkan pembebasan para sandera dan untuk menikmati aura patriotik yang dihasilkan. Bagi banyak pengamat, krisis sandera di Iran menandai kegagalan terakhir Carter sebagai presiden, dan kesuksesan pertama Reagan, meskipun ia tidak melakukan apa-apa. Baik dia maupun tim transisinya tidak berpartisipasi dalam negosiasi, dan Reagan pada awalnya juga tidak memuji presiden Carter yang akan keluar dari gedung putih atas pembebasan para sandera. Orang-orang Amerika, bagaimanapun, akhirnya bisa melepaskan pita kuning yang mereka pasang sebelumnya dan menarik napas lega. Setelah penantian yang mengerikan, memalukan, dan tampaknya tak berujung, para sandera akhirnya pulang. Sementara itu, meskipun Amerika Serikat belum memenuhi semua persyaratan mereka, Ayatollah dan para pengikutnya menganggap krisis sandera dan kesepakatan yang dihasilkan berhasil. Bagaimanapun, mereka telah menunjukkan bahwa sekelompok kecil orang yang teguh berkomitmen dengan sumber daya terbatas dapat menyandera negara paling kuat di dunia untuk jangka waktu yang lama, dan mereka telah melakukannya di panggung global. Ini adalah pelajaran yang tampaknya belum dipelajari oleh Amerika Serikat. Sementara itu dari sisi militer, meskipun misi penyelamatan sandera di Iran tidak berhasil, pensiunan Kapten Angkatan Darat, Wade Ishimoto, yang bertugas sebagai perwira intelijen Delta Force untuk operasi Eagle Claw, mengatakan bahwa misi itu memainkan peran penting yang membentuk pola operasi khusus masa depan Amerika di bagian akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. “Kami membayar harganya dengan mahal,” kata Ishimoto. “Kami kehilangan delapan orang dalam misi itu, tetapi kehilangan nyawa mereka tidak sia-sia karena melihat di mana kami bisa berada saat ini.”

Jimmy Carter di usia 96 tahun masih nampak sehat dan aktif hingga hari ini sebagai mantan presiden tertua dalam sejarah Amerika. Carter setelah menyelesaikan masa jabatannya sebagai presiden, terus aktif dalam berbagai aksi kemanusiaan dan perdamaian. Sementara itu banyak orang menilai bahwa Carter saat menjabat bukanlah Presiden yang tepat untuk memerintah disaat “krisis”, meski demikian di masa kini penilaian Carter sebagai presiden yang baik di mata bangsa Amerika terus meningkat, setelah dia tidak lagi menjadi presiden. (Sumber: https://www.axios.com/)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

444 Days in Hell by Ron Soodalter; March 2017

Jimmy Carter and the Iran Hostage Crisis Written by: Gregory L. Schneider, Emporia State University

https://billofrightsinstitute.org/essays/jimmy-carter-and-the-iran-hostage-crisis

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Iran_hostage_crisis

40 years later: How the Iran hostage crisis shaped the future of special operations by Diana Stancy Correll, November 4, 2019

https://www.militarytimes.com/flashpoints/2019/11/04/40-years-later-how-the-iran-hostage-crisis-shaped-the-future-of-special-operations/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *