Perang Dunia II

Frustasi Terhambat Pasukan Amerika-Filipina, Jenderal Homma Lancarkan Blitzkrieg ke Semenanjung Bataan

Setelah serangkaian kemenangan mengesankan mereka di Malaya, Hong Kong, Burma, Hindia Belanda, dan Filipina, tampaknya Jepang tidak terkalahkan di masa-masa awal Perang Dunia II. Pada musim semi 1942, Jepang telah mendesak pasukan Amerika dan Filipina yang mempertahankan Filipina ke Semenanjung Bataan dan ke ambang kekalahan total. Namun, tentara Jepang percaya bahwa akan dibutuhkan serangan besar untuk mengalahkan pihak yang bertahan. Keyakinan ini lalu benar-benar memaksa mereka untuk merancang dan meluncurkan apa yang bisa disebut sebagai versi buku teks dari serangan blitzkrieg ala Jerman, yang mengejutkan, memotong, mengisolasi, dan melewati titik kuat pertahanan musuh. Begitu efektifnya kampanye itu sehingga dua kali selama pertempuran enam hari, operasi ofensif harus dihentikan untuk memungkinkan tank dan persediaan vital mengejar ketinggalan dari pasukan utamanya. Fakta bahwa pasukan AS yang kelaparan, kurus kering, dan tidak dilengkapi dengan baik di Bataan serta telah berada dalam kesulitan yang sedemikian parah sehingga mereka tidak akan pernah bisa menghentikan tentara Jepang, blitzkrieg atau tidak, tidak menjadi soal. Begitu juga fakta bahwa Jenderal Jepang Masaharu Homma telah mengantisipasi bahwa akan diperlukan waktu satu bulan untuk merebut Bataan dan bahwa keputusannya untuk menyerang Gunung Samat, posisi terkuat di garis pertahanan AS, tetaplah keputusan yang berani, setelah mengalami penundaan begitu lama. Rencana serangan itu sendiri adalah kunci dari keberhasilan kampanye militer yang berlangsung cepat. Itu adalah salah satu rencana yang akan membuat Jenderal Jerman Heinz Guderian, yang dikenal dalam sejarah sebagai “Bapak Blitzkrieg,” bangga. 

Barisan tank Jepang maju di Semenanjung Bataan di Luzon. Kemenangan cepat Jepang di Malaya dan Hindia Belanda telah memaksa Jenderal Homma untuk mempersingkat kampanye militernya dalam menaklukkan Filipina. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

INVASI JEPANG DIMULAI

Letnan Jenderal Masaharu Homma ditunjuk untuk memimpin Angkatan Darat ke-14 Jepang yang ditugaskan untuk menaklukkan Filipina. Selain 30.000 veteran tempurnya dari Divisi Infanteri ke-16 dan ke-48, ia juga memiliki 60.000 pasukan pendukung operasi darat dan udara, bersama dengan dua batalyon tank, dua resimen dan satu batalion artileri, tiga resimen pasukan zeni, dan lima batalyon senjata antipesawat. Lebih dari 500 pesawat dari Angkatan Udara ke-5 yang berbasis di Formosa ikut pula mendukung pasukan darat Jepang, bersama dengan Armada ke-3 Angkatan Laut Jepang dan Armada Udara ke-11. Rencana invasi Jepang memperkirakan bahwa angkatan udara mereka mampu mengeliminasi kekuatan udara Amerika-nya pada hari pertama operasi. Elemen Angkatan Darat Jepang kemudian akan mendarat di Teluk Lingayen di utara Manila dan di selatan ibukota Filipina di Teluk Lamon. Kedua kekuatan kemudian akan bertemu di Manila, di mana pertempuran yang menentukan dalam perebutan kepulauan itu akan terjadi. Homma diberi waktu 50 hari untuk menaklukkan Luzon; setelah waktu itu separuh komandonya akan ditarik ke wilayah pertempuran lain di Asia Tenggara. Dari tanggal 8-10 Desember, serangan udara yang menghancurkan di pulau-pulau utama Filipina, yakni Luzon dan Mindanao telah memberikan keunggulan udara Jepang atas lawan-lawan mereka, yang memungkinkan mereka untuk melakukan pendaratan amfibi pengalihan di Luzon utara pada tanggal 10 Desember. Armada Asia Amerika kemudian menarik diri dari perairan Filipina segera setelah serangan udara itu. 

Jenderal Masaharu Homma, komandan invasi tentara Jepang di Filipina. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Pesawat-pesawat dari Angkatan Darat Tentara Kekaisaran Jepang sedang membom kota-kota musuh. Dengan superioritas udara Jepang di awal-awal perang, pasukan invasi di Filipina diharapkan dalam waktu 50 hari bisa menaklukkan Pulau Luzon di Filipina. (Photo by Culture Club/Getty Images/https://www.gettyimages.com/)
Peta pendaratan Jepang di Filipina, Desember 1941. (Sumber: https://www.ibiblio.org/)

Dengan kekuatan udara dan angkatan laut Amerika di pulau-pulau Filipina dinetralisir pada jam-jam pertama perang, skema Amerika untuk mempertahankan seluruh Filipina gagal. Sekarang satu-satunya kekuatan yang tersisa disana adalah pasukan darat, yang sayangnya sudah terputus dari jalur pasokan, bala bantuan, atau kesempatan untuk melarikan diri. Pada tanggal 10 Desember, Jepang melakukan pendaratan pengalihan di sepanjang pantai utara Luzon. Langkah selanjutnya datang di selatan ketika elemen-elemen dari Divisi Infanteri ke-16 Jepang mendarat di Luzon selatan diikuti dengan serangan ke Mindanao pada tanggal 19. Serangan utama dimulai pada 22 Desember saat Divisi infanteri Divisi ke-16 dan 48 mengarungi pantai di Teluk Lingayen Luzon dengan didukung oleh 100 tank. Divisi Infanteri Filipina ke-11 dan ke-71 pimpinan Jenderal Wainwright, yang kurang terlatih dan tidak diperlengkapi dengan baik, tidak mampu mengusir atau menjepit musuh di pantai. Pada tanggal 24, elemen Divisi ke-16 Jepang sudah mendarat di Teluk Lamon menghadapi korps Jenderal Parker yang tersebar dan sedang menuju ke utara untuk bergabung dengan rekan-rekan mereka dari Teluk Lingayen, untuk selanjutnya bergerak ke selatan.

MACARTHUR TERBURU-BURU MUNDUR KE BATAAN 

Menyadari bahwa rencana pertahanannya telah gagal, pada tanggal 26 Desember Jenderal Douglas MacArthur memberi tahu komandan bawahannya bahwa Plan Orange 3, rencana sebelum perang untuk hanya mempertahankan Semenanjung Bataan dan pulau Corregidor selama enam bulan sampai bantuan datang, diaktifkan kembali. Untuk mengeksekusi Plan Orange, Pasukan Luzon Utara pimpinan Wainwright ditugaskan untuk menahan serangan utama musuh dan menjaga jalan menuju ke Bataan tetap terbuka untuk digunakan oleh Pasukan Luzon Selatan pimpinan Parker. Untuk mencapai ini, Wainwright mengerahkan unit tempurnya dalam serangkaian garis pertahanan. Di bawah bimbingan Wainwright dan Parker, penarikan pasukan Amerika dan Filipina ke Bataan berlangsung dengan cepat dan tertib mengingat situasi di sekelilinnya yang kacau. Fase operasi yang sangat genting terjadi ketika komando keduanya terhubung di dekat kota San Fernando. Kedua pasukan kemudian harus bergerak di sepanjang jalan sempit untuk mencapai Semenanjung Bataan. Meskipun tentara Jepang gagal memanfaatkan keunggulan udara mereka sepenuhnya dengan menghalangi titik penyempitan ini sebagai rute mundur pasukan musuh, Wainwright, yang khawatir dengan lambatnya kemajuan penarikan Pasukan Luzon Selatan, memerintahkan pasukannya untuk mengambil posisi di San Fernando. Kegigihan pasukan dari elemen Divisi Infanteri ke-21 Filipina kemudian memungkinkan pasukan Amerika dan Filipina untuk mempertahankan posisi pertahanan ini hingga tanggal 30 Desember. Sementara itu, keputusan terburu-buru MacArthur untuk mundur ke Bataan telah memaksa unit-unitnya yang mundur dengan meninggalkan sebagian besar perbekalan dan peralatan mereka. Pada saat itu, konsekuensi serius dari perubahan dalam rencana pertahanan Amerika menjadi jelas. Untuk memastikan rencana asli MacArthur dalam mempertahankan seluruh rantai pulau Filipina, pasokan dari depot utama di Bataan dan Corregidor telah disebarkan ke wilayah komando Luzon Utara dan Selatan. Sekarang dengan transportasi truk yang terbatas, jalan yang macet, dan waktu yang terbatas, pasokan amunisi di Bataan dan Corregidor terbukti tidak mungkin dilakukan. Akibatnya kekurangan makanan, amunisi, senjata, dan persediaan medis yang serius akan terbukti menjadi faktor penting dalam pertempuran di Bataan mendatang.

Jenderal Douglas MacArthur. Keputusan terburu-buru MacArthur untuk mundur ke Bataan telah memaksa unit-unitnya yang mundur dengan meninggalkan sebagian besar perbekalan dan peralatan mereka. (Sumber: https://www.history.com/)

MEMBENTUK GARIS PERTAHANAN AMERIKA DI BATAAN

Dalam keadaan seperti itu, pasukan Amerika dan sekutu Filipina-nya melakukan upaya yang luar biasa dalam menarik diri ke Semenanjung Bataan. Namun, kenyataannya mandat bagi tentara Jepang untuk lebih dulu merebut Manila akan menjadi faktor utama yang menyebabkan pasukan sekutu bisa mencapai Bataan. Mengikuti perintah Tokyo untuk menjadikan ibu kota Filipina sebagai tujuan utamanya, Jenderal Homma pada tanggal 27 Desember menolak saran dari kepala stafnya bahwa pihak musuh telah melarikan diri ke Bataan untuk membuat pertahanan terakhir, dan bahwa aset udara Jepang harus segera dialihkan untuk melakukan upaya yang berkelanjutan guna memperlambat mundurnya pasukan Amerika ke Bataan, sekaligus memberi waktu bagi pasukan darat Jepang untuk mencegat mereka sebelum mereka dapat memasuki semenanjung dengan kekuatan penuh. Homma sebenarnya ingin mengikuti saran bawahannya tetapi tidak bisa karena perintah atasannya untuk menjadikan perebutan Manila sebagai prioritas utama kampanye militer Jepang. Akibatnya, dia tidak mengarahkan kekuatan darat dan udara yang substansial untuk mencoba memperlambat penarikan tentara Amerika ke Bataan. Pada akhir bulan Desember, lebih dari 67.500 orang Filipina dan 12.500 tentara AS, serta 26.000 warga sipil, berada di Semenanjung Bataan. Kekurangan pasokan membuat semua orang hanya menerima setengah dari ransum makanan seharusnya. Malnutrisi, disentri, dan malaria segera menjadi hal biasa, dengan banyak tentara yang tidak mampu berperang. Pada tanggal 2 Januari 1942, Manila jatuh ke tangan Angkatan Darat ke-14 Jepang. Tiga hari kemudian Homma menerima teguran dari Markas Besar Angkatan Darat Kekaisaran Jepang yang menyatakan bahwa tentara musuh di Bataan tidak dapat diabaikan dan bahwa Homma seharusnya menghancurkannya sekaligus merebut Manila.

Pasukan Jepang menduduki Manila, karena dinyatakan sebagai kota terbuka untuk menghindari kehancurannya, 2 Januari 1942. Mandat bagi tentara Jepang untuk lebih dulu merebut Manila menjadi faktor utama yang menyebabkan pasukan sekutu bisa mencapai Bataan. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Sebuah tank M3 melindungi gerak mundur pasukan Kavaleri ke-26 saat mereka menuju posisi bertahan di Semenanjung Bataan, 26 Desember 1941. Keengganan Homma untuk memburu pasukan sekutu yang mundur membuat pasukan Amerika-Filipina bisa mundur ke Bataan dengan personel yang relatif utuh. (Sumber: https://www.philippinescouts.org/)
Pembagian wilayah Korps I dan II di Bataan. (Sumber: http://firedirectioncenter.blogspot.com/)

Apa yang terlambat diketahui oleh Jepang adalah bahwa tentara musuh yang terkurung di Bataan dan Corregidor secara efektif memblokir penggunaan Teluk Manila oleh Jepang. Akibatnya, Tentara Kekaisaran Jepang di Filipina harus melanjutkan pertempuran untuk memperebutkan pulau-pulau tersebut. Sementara itu, rencana Amerika untuk mempertahankan Semenanjung Bataan dengan kedalaman 30 mil (48 km), lebar 15 mil (24 km), dan berhutan lebat memerlukan penjagaan atas garis pertahanan awal yang membentang melintasi semenanjung dari Mauban di barat hingga Mabatang di timur. Korps ke-I Wainwright yang baru dibentuk mempertahankan sektor timur dengan Divisi Infanteri Filipina ke-1, ke-31, dan ke-91, Resimen Kavaleri Pengintai Filipina ke-26, dan baterai meriam kaliber 75mm. Pasukan Luzon Selatan Jenderal Parker, yang kini disebut sebagai Korps ke-II, menguasai zona barat dengan Divisi Infanteri Filipina ke-11, ke-21, ke-41, dan ke-51. Sementara itu, unit cadangan AS-Filipina terdiri dari Divisi-divisi Infanteri Filipina. Setiap korps Amerika yang digelar—di atas kertas—terdiri dari 30.000 orang. Gunung Natib, sebuah puncak setinggi 4.222 kaki (3.860 meter) di tengah garis pertahanan Amerika, lalu berfungsi sebagai batas antara Korps ke-I dan II. Komando militer Amerika mendasarkan posisi sayap mereka di lereng gunung yang lebih rendah, tetapi karena mereka menganggap medan kasar di sekitar Gunung Natib tidak dapat dilalui, mereka tidak memperpanjang garis pertahanan mereka ke lereng gunung. Alhasil, terdapat lubang yang cukup besar di bagian tengah lini pertahanan mereka.

DOMINASI ARTILERI AMERIKA

Ketika pasukan Amerika-Filipina menyelesaikan penarikan mereka ke Semenanjung Bataan pada minggu pertama bulan Januari 1942, MacArthur khawatir penempatan pasukannya akan terganggu oleh pengejaran cepat dari pasukan Jepang. Dia sebenarnya tidak perlu khawatir; karena musuh memberikan waktu kepada pihakAmerika untuk mengatur pertahanan Bataan, sementara mereka sibuk memindahkan unit-unit tempurnya. Pada awal bulan Januari 1942, Markas Besar Kekaisaran Jepang mengambil alih Divisi Infanteri ke-48 Homma yang berpengalaman darinya, dan mengirimkannya ke Hindia Belanda. Sebagai gantinya, Angkatan Darat ke-14 menerima Brigade ke-65, berkekuatan 6.600 orang, yang terdiri dari unit cadangan, bersenjata ringan, kurang terlatih, dan hanya cocok untuk melaksanakan pekerjaan garnisun. Unit ini, yang menyediakan kekuatan utama penyerangan Jepang di Bataan antara bulan Januari dan Maret 1942, menderita kerugian besar dalam prosesnya. Meskipun brigade tersebut dengan heroik melakukan tugasnya, pelatihannya yang terbatas, anggota yang menua, dan peralatan yang buruk menghalangi Angkatan Darat ke-14 untuk mencapai kemenangan di Bataan jauh lebih awal dari yang mungkin dilakukan jika unit tempur yang lebih kohesif dan berpengalaman melaksanakannya dalam periode yang sama. Akhirnya, pada malam tanggal 9 Januari, Jepang memulai serangan utama pertama mereka terhadap posisi Amerika yang mempertahankan Semenanjung Bataan, dengan melancarkan serangan artileri awal terhadap Korps ke-II Amerika, diikuti dengan serangan oleh dua resimen infanteri yang didukung oleh tank dan senjata artileri. Setelah bergerak maju dengan cepat, para prajurit Nippon terhenti terutama oleh tembakan artileri musuh. Badai timah panas yang menghalangi kemajuan Jepang datang dari meriam kaliber 75mm Amerika-Filipina yang ditempatkan di garis pertahanan utama dan didukung oleh howitzer kaliber 155mm yang kuat dan tersembunyi di belakangnya. Meriam-meriam Amerika dipasang di tempat-tempat yang tinggi dan dengan demikian memiliki akses pengamatan yang luar biasa, sementara tentara Jepang, di medan yang lebih rendah, mengalami kesulitan besar untuk bisa melihat posisi senjata musuh bahkan dari udara karena vegetasi hutan yang lebat. Upaya artileri Jepang tertatih-tatih karena kecilnya jumlah senjata artileri yang dibawa ke dalam pertempuran di Bataan, doktrin artileri yang buruk, dan kurangnya peta zona pertempuran yang akurat. Selama bulan Januari 1942, Angkatan Darat ke-14 Jepang berhasil mengusir pasukan Amerika-Filipina dari Jalur Mauban-Mabatang dengan sedikit bantuan senjata artileri. Sebaliknya tembakan artileri Amerika-Filipina sepenuhnya mendominasi medan perang hingga penarikan pasukan bisa dilakukan ke garis pertahanan Amerika-Filipina berikutnya.

Posisi pertahanan Amerika-Filipina di Semenanjung Bataan, 6-16 Januari 1944. (Sumber: https://weaponsandwarfare.com/)
Artileri pasukan Amerika mampu melindungi gerak mundur pasukan sekutu ke semenanjung Bataan dan mendominasi medan pertempuran. (Sumber: http://firedirectioncenter.blogspot.com/)

KORPS KE-1 MUNDUR KE SELATAN

Delapan hari pertempuran sengit berkecamuk di sepanjang front Amerika-Filipina, terutama di dekat posisi penting Jepang di Abucay Hacienda tiga mil sebelah timur Gunung Natib. Selama waktu ini tentara Jepang menyelidiki ke arah barat, memukul Divisi ke-41 Filipina, dan kemudian lebih jauh ke barat, menyerang Divisi ke-51 di mana mereka mengarahkan salah satu resimen dan siap untuk menghancurkan seluruh posisi Amerika. Namun, pada saat melakukan penerobosan, mereka diguncang oleh serangan balik yang keras dari pasukan terbaik yang dimiliki oleh pihak yang bertahan, yakni Resimen Infanteri ke-31 “All American” dan Resimen Infanteri pengintai ke-45 Filipina, semuanya pasukan reguler. Pertempuran di Abucay Hacienda adalah pertarungan antara prajurit infanteri. Pasukan Jepang akhirnya memenangkan pertempuran  ketika mereka memusatkan serangan mereka terhadap Korps ke-I di ujung barat semenanjung. Di bagian itu, hanya ada satu jalan di dekat laut yang berfungsi sebagai jalur pasokan bagi mereka yang bertahan. Menggunakan keahlian mereka dalam melakukan infiltrasi unit-unit kecil di atas wilayah yang sulit dilalui, tentara Jepang mampu memutuskan jalan, mengalahkan upaya tentara Filipina yang berulang kali ingin membuka kembali jalan tersebut. Dengan unit cadangannya yang dikerahkan untuk menopang bagian depan dari Korps ke-II, MacArthur tidak punya pilihan selain memerintahkan Korps ke-I untuk mundur ke selatan. Korps ke-I harus meninggalkan banyak senjata artilerinya karena kurangnya alat transportasi selama gerak mundur ini. Dengan sisi kirinya sekarang terbuka untuk para penyerang, Korps ke-II segera mengikutinya. Gerak mundur besar-besaran pasukan Sekutu dimulai pada tanggal 22 Januari. Dimulai dengan baik, pada tanggal 24 pasukan sekutu telah jatuh dalam kebingungan total yang disebabkan oleh pelatihan yang buruk dari rata-rata tentara Filipina, kebutuhan untuk bergerak di jalan hutan yang sempit di malam hari, dan ketakutan konstan akan serangan Jepang. Untungnya, tentara Jepang gagal memperhatikan manuver musuh mereka ke selatan dan tidak bisa berbuat banyak untuk menghalanginya. Ketika mereka akhirnya berangkat untuk mengejar mangsanya, mereka ditahan oleh unit tank ringan dan artileri Amerika yang dibawa dengan kendaraan Halftrack. Pada tanggal 26, garis pertahanan baru Amerika-Filipina membentang 4.500 yard (4.114 meter) dari Bagac, di pantai Laut Cina Selatan, sebelah timur dari Orion di tepi timur semenanjung.

Pasukan sekutu mundur ke Bataan. (Sumber: http://firedirectioncenter.blogspot.com/)
Halftrack. pasukan sekutu. (Sumber: http://firedirectioncenter.blogspot.com/)

HOMMA MENCOBA MEMOTONG KORPS KE-1

Frustrasi oleh perlawanan yang dihadapi Angkatan Darat ke-14 untuk merebut Semenanjung Bataan, Jenderal Homma memerintahkan Mayor Jenderal Naoki Kimura, komandan Divisi Infanteri ke-16 Jepang, untuk melakukan serangan amfibi di pantai barat untuk memotong Jalan Barat, satu-satunya jalur-Arteri suplai utara-selatan orang-orang Amerika dan Filipina di pantai barat semenanjung, 10 mil (16 km) di belakang garis depan musuh. Direbutnya rute ini akan memutuskan semua unit tempur Korps ke-I Amerika dari sumber pasokan mereka ke selatan. Kimura kemudian memilih Batalyon ke-2, Resimen Infanteri ke-20 di bawah pimpinan Letnan Kolonel Nariyoshi Tsunehiro untuk menyelesaikan tugas ini. Mempertahankan daerah sasaran adalah Divisi Infanteri Filipina ke-71 asal Bataan Service Command di bawah komando Brigjen Clyde A. Selleck. Selleck hanya memiliki satu pasukan campuran Marinir Amerika, penerbang, Polisi Filipina (polisi Filipina berubah menjadi prajurit infanteri), dan empat meriam angkatan laut kaliber 6 inci (152 mm) untuk mempertahankan sepertiga bagian bawah semenanjung—selebar 40 mil (64 km) dan bermedan terjal. Dalam minggu-minggu sebelum tentara Jepang mendarat di daerahnya, anak buah Selleck mampu memasang kawat berduri, pos pengamatan, dan membuka jalan kasar menuju lokasi kemungkinan pendaratan. 900 orang dari Batalyon ke-2 Tsunehiro lalu memulai misi mereka pada malam tanggal 22 Januari 1942. Sepanjang malam, upaya awal untuk mendarat di lokasi yang telah ditentukan, Caibobo Point, menemui kegagalan karena tembakan senapan mesin dari para penerbang Amerika dari Skuadron Pemburu ke-17 yang bertempur sebagai prajurit infanteri, serta baterai artileri kaliber 75mm Sekutu. Digagalkan untuk mendarat di Caibobo Point, tentara Jepang berlayar dan mendaratkan 600 orang di Quinauan Point, di mana mereka mendarat tanpa hambatan. Kelompok kedua yang terdiri dari 300 tentara Jepang mendarat secara bersamaan 11 mil (17 km) selatan Caibobo Point di Longoskawayan Point dekat Gunung Pucot, hanya 1.000 yard (900 meter) dari West Road. Pada malam hari, PT-34 (kapal patroli torpedo Amerika) menenggelamkan dua tongkang pengangkut pasukan Jepang yang kosong saat menuju utara dari lokasi pendaratan Jepang. 

Tentara Jepang di dalam Kapal Pendarat buatan Daihatsu, Filipina 1942. (Sumber: https://www.reddit.com/)
Bersenjata lengkap dan membawa amunisi ekstra, tentara Jepang mendarat di Semenanjung Bataan. Tentara Jepang berusaha untuk mempercepat langkah penaklukan mereka melalui pendaratan amfibi; namun, gerakan ofensif ini mendapat perlawanan sengit. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Satu-satunya personel yang tersedia untuk melawan pasukan pendaratan Jepang adalah personel dari Polisi Filipina, satu batalyon infanteri Amerika, beberapa awak pesawat dan pelaut, dan marinir dari baterai senjata anti-pesawat di dekatnya. Sebagai reaksi terhadap ancaman pendaratan Jepang, beberapa senapan mesin dilepaskan dari pesawat dan dipasang pada platform yang dibuat khusus, sementara para pelaut berusaha untuk menodai seragam putih mereka dengan warna khaki untuk berbaur dengan lingkungan pedesaan setempat. Selama beberapa hari berikutnya, pasukan pertahanan pantai Amerika dan Filipina menemukan dua lokasi penyusupan Jepang. Meskipun tidak cukup terlatih sebagai prajurit infanteri untuk mengusir penyerang, para prajurit ad hoc Amerika dan Filipina mampu menahan tempat berpijak tentara Jepang. Pasukan Jepang mencoba untuk memperkuat pasukan yang sudah mendarat, tetapi upaya itu dilakukan sedikit demi sedikit dan terbukti tidak efektif. Satu kompi dengan senjata artileri meleset dari zona pendaratan yang diinginkan, mendarat di Silaiim Point, di mana mereka dengan cepat diblokade oleh tentara Amerika. Pada tanggal 1 Februari, sisa batalyon Kimura (terdiri dari 500 orang) dalam 12 tongkang berlayar ke Quinauan Point. Tidak jauh dari tujuan mereka, armada Jepang terlihat dan diserang oleh empat pesawat tempur P-40 Amerika, dan kehilangan lima tongkang akibat serangan itu. Segera tentara Jepang menjadi sasaran meriam kaliber 155mm dan 75mm dan posisi senapan mesin pasukan Scout Filipina lebih jauh ke bawah pantai yang menyapu geladak tongkang dan membunuh sejumlah tentara Jepang.

Pesawat-pesawat tempur P-40 Warhawk dari sisa-sisa kekuatan udara Amerika di Filipina masih mampu memberikan perlawanan kuat bagi pasukan pendarat Jepang di Bataan. (Sumber: https://www.thoughtco.com/)
Kapal Torpedo PT-32 yang aktif mengganggu kapal-kapal Jepang di Bataan. (Sumber: https://www.ibiblio.org/)

Saat malam semakin larut, PT-32 menyerang kapal ranjau Jepang dengan torpedo, memaksanya untuk mundur. Tak lama setelah tengah malam, apa yang tersisa dari pasukan Kimura berlayar ke Silaiim Point. Tentara Amerika kemudian membutuhkan waktu dua minggu dengan menggunakan pasukan infanteri, tank, dan artileri untuk mengusir tempat berpijak Jepang. Upaya Tentara Kekaisaran Jepang untuk memotong posisi Korps ke-I terbukti gagal dengan menderita kerugian 1.400 orang. Sementara itu, korban di pihak Amerika dan Filipina berjumlah 750 orang, dengan sekitar sepertiga dari mereka tewas. Pada akhir bulan Januari dan awal Februari, tentara Jepang melancarkan serangan baru terhadap Korps ke-II. Upaya ini adalah kegagalan lain yang mahal. Tentara Jepang melakukan beberapa pendaratan amfibi di sepanjang pantai barat di belakang bagian depan Korps ke-I, yang mengakibatkan kehancuran total pada pasukan pendarat. Pada pertengahan bulan Februari, situasi relatif stabil di semenanjung Bataan. Sejak bulan Januari, tentara Jepang telah kehilangan lebih dari 7.000 korban akibat pertempuran dan 12.000 orang lainnya karena penyakit. Formasi serangan mereka telah dikurangi menjadi setara dengan tiga batalyon infanteri. Selain itu, Homma memiliki masalah pasokan yang parah. Sementara itu, tentara Amerika-Filipina semakin terpengaruh oleh kekurangan gizi dan penyakit, kedua faktor tersebut menyebabkan para prajurit kehilangan begitu banyak kekuatan fisik mereka sehingga kemampuan mereka untuk bertempur sangat terganggu. Sepanjang bulan Februari dan Maret, pasukan MacArthur melakukan apa yang mereka bisa untuk mempersiapkan serangan musuh baru dengan menggali posisi pertahanan baru dan mengatur ulang unit mereka.

Tentara Filipina berlatih dengan senapan mesin kaliber .30 yang berat dan berpendingin air. Orang-orang Filipina sering bertempur dengan berani untuk mempertahankan tanah air mereka; namun, baik mereka maupun sekutu Amerika mereka tidak siap menghadapi serangan gencar Jepang yang membawa kemenangan pada musim semi 1942. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Pada bulan Februari, kepemimpinan di Washington mulai percaya bahwa kekuatan Amerika di Filipina akan hancur. Tidak mau kehilangan seorang komandan terampil dan tangguh seperti MacArthur, Presiden Franklin D. Roosevelt memerintahkan dia untuk mengungsi ke Australia. Dengan enggan MacArthur berangkat pada tanggal 12 Maret, dimana ia melakukan perjalanan ke Mindanao dengan kapal PT Boat sebelum terbang ke Australia dengan menumpang pesawat pembom B-17 Flying Fortress. Keputusan MacArthur untuk mematuhi perintah, ditambah dengan perilakunya menjelang kepergiannya, membuatnya tidak populer di mata tentara Amerika. “Meskipun tentara Filipina berpegang teguh pada pengabdian mereka kepada MacArthur, orang Amerika semakin banyak yang mulai mencemoohnya,” kata seorang letnan dari satuan Kavaleri ke-26. “Saat amunisi dan makanan habis, dan saat minggu-minggu berlalu tanpa kelegaan yang dijanjikan, mereka membuat lagu dan lelucon yang mengejek tentang sang jenderal….” Beberapa pria menyanyikan parodi untuk lagu “The Battle Hymn of the Republic“: 

“Dugout Doug MacArthur lies a-shakin’ on the Rock

Safe from all the bombers and from any sudden shock.

Dugout Doug is eating of the best food on Bataan

And his troops go starving on.”

Kritik itu memang kejam, tetapi sebagian ada benarnya, bahwa faktanya McArthur mengunjungi Bataan dari Corregidor hanya sekali selama pertempuran, pada tanggal 10 Januari. Orang-orang itu sekarang merasakan bahwa dengan dia telah pergi, mereka dapat dikorbankan. Perasaan mereka disimpulkan dengan baik oleh Frank Hewlett, satu-satunya koresponden perang AS yang tersisa di pulau-pulau itu, dengan sajaknya: 

“We’re the battling bastards of Bataan.

No mama, no papa, no Uncle Sam,

No aunts, no uncles, no cousins, no nieces,

No pills, no planes, no artillery pieces

And nobody gives a damn.”

Keputusan MacArthur untuk mematuhi perintah, ditambah dengan perilakunya menjelang kepergiannya, membuatnya tidak populer di mata tentara Amerika. (Sumber: https://www.historynet.com/)
Dengan kepergian MacArthur, kekuatan militer Amerika direorganisasi menjadi Pasukan Amerika Serikat di Filipina (USFIP) dengan Jenderal Wainwright memegang komando secara keseluruhan. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Dengan kepergiannya, kekuatan militer Amerika direorganisasi menjadi Pasukan Amerika Serikat di Filipina (USFIP) dengan Jenderal Wainwright memegang komando secara keseluruhan. Sementara itu di pihak Jepang, bala bantuan terus mengalir ke Bataan. Di antara mereka adalah Divisi Infanteri ke-4 dan ke-21 dengan masing-masing 4.000 orang. Yang paling penting adalah datangnya artileri berat, termasuk 96 meriam kaliber 150mm dan 240mm. Pada akhir bulan Maret, tentara Jepang telah siap melancarkan serangan awal untuk merebut garis terdepan musuhnya.

SASARAN: GUNUNG SAMAT

Disposisi defensif pasukan Amerika yang masih tersisa di Bataan meninggalkan sedikit keraguan tentang titik fokus serangan tentara Jepang. Hampir seluruh bagian barat garis pertahanan, yang dipertahankan oleh pasukan Korps ke-I AS, meliputi hutan yang begitu lebat sehingga tidak hanya akan menetralisir efek superioritas udara Jepang tetapi juga akan “menelan” tentara penyerang dalam wilayah tanpa jalan memadai. Sebaliknya, dengan pengecualian fitur yang paling mendominasi, yakni Gunung Samat setinggi 300 kaki (91 meter), bagian timur, dipertahankan oleh Korps ke-I, menawarkan jalur pendekatan terbuka, yang bebas hutan ke lereng utara yang naik dengan lembut. Daerah itu dapat diakses melalui jalan setapak yang mengapit sisi timur dan barat gunung. Jenderal Homma lalu memilih untuk melancarkan serangannya ke Gunung Samat, yang dia perkirakan akan memakan waktu satu minggu untuk direbut, karena dua alasan. Pertama, tentara Amerika paling tidak telah memperkirakan datangnya serangan frontal terhadap dataran tinggi yang mendominasi pedesaan sekitarnya. Kedua, dengan Gunung Samat ada di tangan Jepang, pengamat artileri akan berada dalam posisi untuk mengarahkan tembakan untuk serangan utama ke pantai timur Bataan. Sebelum melancarkan serangan mereka di gunung itu sendiri, tentara Jepang perlu menguasai tiga jalur utama, yang dinomori 4, 6, dan 429. Gabungan ketiga jalur ini mengelilingi kaki Gunung Samat. Sementara itu superioritas udara Jepang yang lengkap memungkinkan para penyerang untuk mengebom dan menembak posisi lawan sesuka hati. Peningkatan operasi udara adalah satu-satunya indikasi bahwa operasi ofensif baru Jepang sudah dekat. Jika tidak, hanya ada sedikit indikasi di mana atau kapan tepatnya tentara Jepang akan menyerang garis pertahanan Amerika. Untuk memperkuat skuadron-skuadron pembom ringan dan pesawat tempur yang sudah beroperasi di daerah tersebut, Jepang membawa dua unit pembom berat, yang berjumlah 60 pesawat dari Malaya dan Indochina, ditambah dua skuadron pembom Mitsubishi G4M Betty dan masing-masing satu skuadron pembom berbasis kapal induk dan Pesawat-pesawat tempur Mitsubishi A6M Zero.

Memanfaatkan rencana serangan yang terkoordinasi, pasukan darat Jepang melakukan serangan terhadap pertahanan Amerika dan Filipina di Semenanjung Bataan dari tiga arah. Artileri dan pesawat Jepang bergabung dalam aksi ofensif, hampir mencapai efek kejut blitzkrieg Jerman seperti yang ditunjukkan di Eropa. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Mengenakan helm doughboy ala Perang Dunia I, seorang tentara Amerika berjongkok di lubang perlindungannya di Bataan pada bulan April 1942. Memanfaatkan setiap senjata yang tersedia, prajurit ini memiliki bom molotov yang siap dilempar melawan tentara Jepang yang bergerak maju. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

MENETRALISIR ARTILERI AMERIKA

Pada tanggal 25 Maret, hari pembukaan fase pra-serangan, pesawat-pesawat pengebom dan pesawat-pesawat tempur Jepang menyerang sasaran tanpa jeda. Orang Jepang biasanya berhenti selama tiga jam di tengah hari; namun, pada tanggal ini mereka benar-benar tetap berada di udara dari fajar hingga matahari terbenam, melakukan pengeboman dan memberondong garis depan AS dan posisi artileri yang dicurigai. Selama delapan hari berikutnya, siklus ini diulang terus. Pada tanggal 2 April 1942, sehari sebelum jadwal pembukaan serangan darat, 82 pesawat pengebom Jepang menggempur lereng depan Gunung Samat, sementara pesawat-pesawat tempur dan pengebom tukik, yang diarahkan oleh pesawat pengintai (yang selalu ada), membuat sengsara orang-orang Amerika dan Filipina yang ada dibawah dan semakin mendesak mereka lebih jauh ke kantong pertahanan di Bataan. Seperti halnya blitzkrieg Jerman, salah satu kontributor utama keberhasilan fase udara adalah penggunaan pesawat pengintai, yang pengamatan akuratnya terhadap posisi Amerika hampir sepenuhnya menetralkan efektivitas senjata artileri AS. Setiap kali meriam kaliber 155mm atau 75mm ditembakkan, koordinat dari jejak asapnya dikirim melalui radio ke pesawat tempur atau pembom yang berpatroli, yang biasanya segera memberikan respons cepat dan mematikan terhadap pesan tersebut. Kehadiran pesawat-pesawat Jepang tidak hanya mengacaukan posisi artileri tetapi juga dengan konsentrasi pasukan infanteri dan posisi penempatan senapan mesin. Seorang perwira Amerika menulis, “Setiap beberapa menit sebuah pesawat menukik, mengangkat sebuah cabang pohon dan menjatuhkan satu atau dua bom. Setiap kendaraan yang mencoba bergerak, setiap detail pemasangan kawat, patroli infanteri, bahkan individu yang bergerak di tempat terbuka menjadi sasaran pengeboman di tempat ini.” Kapten Alvin Poweleit, seorang petugas medis di Batalyon Tank ke-194, menulis tentang pengalamannya dengan serangan pesawat-pesawat penyerang Jepang. “Kami memasuki bentangan jalan terbuka tepat ketika pesawat penyerang Jepang datang. Untungnya, kami bisa melompat keluar dari jip tepat waktu untuk keluar dari hujan tembakan senapan mesin, tetapi beberapa tentara tewas dan banyak yang terluka. Saat kami merawat yang terluka, pesawat-pesawat kembali dan menembakkan tembakan ke arah kami yang membunuh lebih banyak lagi diantara kami. Kami mencoba untuk memindahkan yang terluka ke sisi jalan, tetapi sekali lagi para bajingan itu kembali dan mengebom dan memberondong kami. Mereka terus menyerang bolak-balik selama sekitar satu jam.” 

Sebuah flight pesawat pengebom ringan Mitsubishi Ki-30, dengan nama sandi Ann oleh Sekutu, melakukan pengeboman terhadap posisi Amerika dan Filipina di Semenanjung Bataan.

TEMBAKAN ARTILERI PRA SERANGAN

Untuk fase serangan artileri, Jepang memiliki hampir 200 meriam, yang hampir setengahnya adalah senjata berat kaliber 150mm hingga 240mm. Sebagian besar senjata berat ini ditempatkan di area berbentuk persegi panjang, 41/2 mil persegi di barat Balanga, hanya tiga mil (4,8 km) dari garis pertahanan AS dan lereng depan Gunung Samat. Dengan artileri AS yang hampir dinetralisir oleh aksi pesawat-pesawat Jepang yang selalu ada, duel yang diantisipasi antara meriam kaliber 155mm Amerika dan meriam kaliber 240mm Jepang tidak pernah terjadi. Jepang juga meluncurkan balon observasi sekitar tiga mil di utara Balanga, jauh di luar jangkauan meriam kaliber 155mm Amerika yang masih beroperasi. Menariknya, pengaruh penggunaan balon ini paling baik dicatat dalam buku harian Mayor Achille Tisdale, seorang perwira staf komandan Bataan, Jenderal Edward P. King. Dalam entrinya pada tanggal 16 Maret, Tisdale secara rutin mencatat, “Orang Jepang sekarang memiliki balon observasi.” Namun, lima belas hari kemudian, dia dengan putus asa menulis, “Artileri Jepang menciptakan neraka. Kalau saja kita bisa mendapatkan balon sialan itu.” Sementara itu, untuk membantu menyembunyikan ruang lingkup dan arah serangan yang direncanakan mereka di Gunung Samat, militer Jepang membatasi konsentrasi senjata artileri pra-serangan mereka untuk menghilangkan posisi artileri AS, gangguan umum atas pergerakan pasukan, dan menghancurkan pos komando, komunikasi, dan posisi pertahanan musuh. Upaya pra-serangan ketiga dan mungkin yang paling penting adalah mengamankan kedua sisi operasi dari kemungkinan serangan balik terhadap pusat atau titik fokus utama serangan. Ancaman pada sisi timur dan sebelah barat gunung juga akan memaksa mereka yang bertahan untuk mengalihkan perhatian mereka dari target utama, sehingga melemahkan pusat pertahanan mereka.

Untuk fase serangan artileri, Jepang memiliki hampir 200 meriam, yang hampir setengahnya adalah senjata berat kaliber 150mm hingga 240mm. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Prajurit dari unit artileri Amerika mengambil posisi bertahan di Semenanjung Bataan selama pertahanan Filipina melawan penyerbu Jepang pada musim semi 1942. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

MEMPERSIAPKAN SERANGAN DI GUNUNG SAMAT

Persiapan Jepang dimulai dengan sungguh-sungguh pada tanggal 31 Maret, tiga hari sebelum serangan utama mereka, ketika Divisi ke-16 Jepang di barat dan Detasemen Nagano di timur mulai beroperasi. Tugas Divisi ke-16 adalah menyerang Korps ke-I dari batas timurnya dan Korps ke-II pada seluruh frontnya hingga pantai barat. Pada saat yang sama, untuk lebih mengikat dan menjebak pasukan yang bertahan, kapal perang Jepang mulai menembaki posisi Amerika dari arah Laut Cina Selatan. Sementara Korps ke-I sibuk melawan Divisi ke-16, Detasemen Nagano, yang terdiri dari sekitar 4.000 prajurit dari Divisi ke-21, mulai bergerak ke Jalan Timur, sekaligus juga menciptakan aksi pengalihan dengan tipuan invasi dari Teluk Manila di selatan garis pertahanan Amerika. Dengan serangan utama yang dijadwalkan pada hari Jumat, tanggal 3 April, maka diputuskan bahwa pemboman artileri yang direncanakan selama lima jam untuk mendukung serangan langsung akan dibuka pada pukul 10 pagi dan berlanjut tanpa henti sampai pukul tiga sore, yang diikuti serangan tank dan pasukan infanteri. Satu jam sebelum serangan darat berlangsung, pada pukul 9 pagi, diperkirakan 196 meriam artileri Jepang, termasuk 29 mortir dan baterai artileri berat ditambah setiap peralatan pendukung jarak dekat yang tersedia, yang akan mulai menembakkan senjata mereka pada target yang telah dipilih sebelumnya. Pada saat yang sama, pesawat-pesawat Jepang, yang pada akhir hari akan menerbangkan 150 sorti penerbangan dan menjatuhkan sekitar 60 ton bom, dan memulai serangan mereka di front Amerika selebar tiga mil yang dipertahankan oleh Divisi ke-21 dan ke-41 Angkatan Darat Filipina. 

Infanteri Jepang dan tank ringan bergerak maju di sepanjang jalur hutan di Semenanjung Bataan. (Sumber: https://www.thoughtco.com/)

CATATAN SERANGAN ARTILERI 

Kapten Paul Ashton, seorang dokter dari rumah sakit lapangan Divisi ke-51 di lereng timur Gunung Samat, telah naik ke puncak gunung pagi itu untuk melihat “panorama luas dari lahan pertanian datar … dan kota Pilar dan Balanga (dari mana adalah) mungkin untuk melihat peningkatan besar dalam jumlah penempatan meriam … di sekitar kedua kota itu.” Ashton melanjutkan, “Pada hari ini, sejumlah besar meriam membidik kami dan kilatan larasnya terlihat jelas. Kemudian pada pukul 10:00 pagi, pengeboman yang frekuensinya sangat meningkat (datang) dalam gelombang demi gelombamg, terus merayap naik ke  dan di sepanjang puncak Gunung Samat. Pengeboman itu berlanjut selama lima jam dan melampaui apa pun yang pernah kami lihat. Pada saat yang sama orang-orang Jepang mengirim armada pengebom … ledakan (bom bersama) dengan deru pesawat yang lebih kecil … memekakkan telinga. Jalur komunikasi dan posisi artileri dihancurkan. Beberapa hektar semak-semak hancur dan terbakar hebat. “Ini menjadi lebih buruk setiap jam.… Saya mendaki bukit ke puncak Samat untuk terakhir kalinya untuk melihat apa yang terjadi. Saya terpana melihat topografinya telah berubah. Pepohonan menjadi kumpulan dedaunan yang campur aduk; api membakar semak-semak kering di dasar dan merambat ke bagian depan bukit. Beberapa mayat terlihat berserakan di sepanjang Jalur 4, jalur utama (penarikan) dari garis depan, dan rombongan tentara Jepang tersebar di mana-mana. “Penggundulan luas di daerah itu pasti berarti bahwa sebagian besar pasukan kami telah mundur dalam unit-unit terpisah saat rentetan tembakan artileri merayap ke atas dan melintasi gunung. Saya menemukan jawabannya nanti (ketika) saya mengemudikan satu-satunya kendaraan ambulans kami melewati jalan setapak yang mengarah ke selatan dari area Divisi ke-51 dan 21. Saya sangat terhambat oleh jalan-jalan yang penuh dengan orang-orang yang tersesat tanpa tujuan yang mengalir ke selatan.” 

Dengan cepat berpindah dari satu posisi ke posisi lain, tentara Amerika bergegas di sepanjang jalan hutan di Semenanjung Bataan. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

“KONSENTRASI TEMBAKAN MUSUH YANG PALING MEMATIKAN” 

Efek pemboman Jepang tercatat konsisten di seluruh posisi pasukan sekutu. Kapten Carlos Quirino dari Divisi ke-2 Kepolisian Filipina mengingatnya sebagai “konsentrasi tembakan (musuh) paling dahsyat yang terlihat selama kampanye militer di Filipina.” Seandainya dia tahu, dia bisa menambahkan, “dan seluruh Perang Pasifik yang akan datang.” Meskipun mungkin tampak bagi orang-orang di sepanjang front Korps ke-II seolah-olah seluruh garis depan mereka diledakkan secara bersamaan, pasukan Jepang sebenarnya mengarahkan sebagian besar pemboman udara dan artileri mereka ke satu titik tertentu. Sektor D, bagian paling barat dari wilayah tanggung jawab Korps ke-II dan terluas dari empat sektor lainnya, membentang sekitar tiga mil melintasi lereng bawah Gunung Samat. Terbagi kira-kira menjadi dua, pertahanan di sektor ini dibagi antara dua divisi Angkatan Darat Filipina, Divisi ke-21 pimpinan Jenderal Mateo Capinpin di timur dan Divisi ke-41 pimpinan Jenderal Vicente Lim di barat. Kedua jenderal telah menugaskan ketiga resimen mereka ke garis depan. Jenderal Lim mengurutkan pasukannya dari kiri ke kanan. Sementara itu, tentara Jepang mengarahkan serangan mereka ke perimeter pertahanan selebar 1.000 yard (914 meter) yang ditempati oleh Resimen Infanteri ke-42, dari Divisi ke-41. Meskipun serangan awal dilakukan pada posisi garis depan Resimen ke-42 oleh senjata artileri dan pesawat-pesawat Jepang, tentara Filipina dari divisi Angkatan Darat Filipina yang paling tangguh di Bataan ini sama sekali tidak bergerak. Setelah melakukan pemboman terus menerus selama lebih dari dua jam, tentara Amerika dan Filipina tidak terlalu memperhatikan skuadron pesawat-pesawat pembom musuh berikutnya yang datang sampai deru seperti “kereta barang” yang biasa muncul dari bahan peledak berkekuatan tinggi yang jatuh, yang mana anehnya tidak terjadi. Saat tentara Filipina dengan hati-hati melihat ke atas dari lubang pertahanan mereka untuk melihat apa yang terjadi, mereka melihat apa yang tampaknya seperti ratusan benda seperti tongkat jatuh dari langit. Ketika tongkat ini menyentuh tanah, mereka terbakar. Mereka adalah bom api, pembakar.

Prajurit Angkatan Darat ke-14 Jepang mengintip dengan hati-hati di jalan tanah selama perjalanan mereka di sepanjang Semenanjung Bataan. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

BOM-BOM PEMBAKAR DIATAS POSISI PASUKAN FILIPINA 

Saat itu adalah akhir dari musim kemarau di Filipina. Lereng bawah Gunung Samat yang datar tidak memiliki hutan tropis yang rimbun tetapi ditumbuhi semak belukar dan rumpun bambu kering dan tebu yang belum dipotong. Tidak lama kemudian ratusan api kecil yang dimulai oleh bom pembakar, yang sekarang dihembus angin sore, bergabung menjadi satu. Saat panas meningkat dalam intensitas, orang-orang terlempar dari posisi garis depan mereka kembali melintasi lanskap kawah, seperti bulan menuju garis pertahanan lapis berikutnya dari resimen mereka. Meskipun mungkin untuk menghindari tembakan, tembakan artileri Jepang yang berat memaksa tentara Filipina untuk mencari perlindungan di lubang peluru atau lubang perlindungan yang ditinggalkan di sepanjang jalan. Segera, tampaknya tidak ada jalan keluar. Karena panik, mereka yang mencoba melarikan diri dari tembakan itu dibunuh oleh peluru artileri musuh. Sama banyaknya dari mereka yang tinggal untuk menghindari tembakan artileri terbakar sampai mati. Sersan Silvestro Tagarao dari Infanteri ke-42, yang Kompi K-nya menduduki garis pos terdepan di posisi pertahanan resimen, mengingat efek mematikan dari serangan dan bom pembakar. “Musuh (membuka) serangan dengan rentetan tembakan mortir. Kami tahu bahwa serangan yang ditunggu-tunggu akan berlangsung. Kami berlari ke lubang perlindungan kami dan menunggu dengan penuh semangat,” kenangnya. “Ledakan hebat datang dengan cepat, meledakkan pohon-pohon di sekitar kami. Rentetan tembakan tanpa ampun terus berlanjut tetapi tidak ada balasan dari senjata artileri kami.” “Pada puncak penembakan yang hebat, bom pembakar (dijatuhkan),” lanjutnya. “Mereka datang tanpa pemberitahuan, dengan sebuah ledakan yang kemudian menjadi panas, api yang membakar hutan membutakan dan segera membuat posisi kami menjadi tidak aman. (Segera) api ada di sekitar kami dan kami tidak bisa menahannya lagi. Kami menunggu perintah dari C.P. kami, tetapi tidak ada yang datang. “Segera setelah api sangat dekat dengan kami, kami keluar dari lubang perlindungan kami dan mundur. Salah satu prajurit mengatakan kepada saya bahwa sayap kiri kami telah dilalap api beberapa menit sebelumnya. Sekali lagi kami harus mundur karena kobaran api, bergerak lebih jauh sampai kami mencapai pos komando kami. Tempat itu juga terbakar, dan tidak ada seorang pun di sana kecuali mayat yang terbaring di atas tandu.”

Marinir Jepang menggunakan penyembur api terhadap bunker tentara Amerika-Filipina dalam pertempuran di Bataan 1942. (Sumber: https://weaponsandwarfare.com/)

KESUKSESAN YANG TAK TERDUGA 

Pukul 3 sore, garis depan, yang diselimuti asap tebal dan dihantam oleh hujan baja dan api, diserang lagi. Kali ini, Brigade ke-65 pimpinan Jenderal Akira Nara, yang didukung oleh Resimen Tank ke-7 menyerang. Tujuan dari serangan Nara adalah Jalur 29—jalur pengumpan ke rute 429, yang, bersama dengan Jalur 6 di barat dan Jalur 4 di sisi timur Gunung Samat, mengelilingi dataran tinggi. Seperti sungai yang mengamuk, pasukan resimen Infanteri ke-42 mengalir ke posisi pasukan resimen Infanteri ke-43 di sebelah kanannya, lalu membawa sebagian besar pasukan resimen Infanteri ke-43 bersamanya. Jenderal Nara, yang paling-paling berharap hanya bisa maju sampai sejauh garis pertahanan utama Amerika, hari itu, secara mengejutkan menemukan koridor selebar 1.600 yard (1.463 meter) benar-benar ditinggalkan baginya ketika dia tiba sore itu. Pada saat yang sama, satu mil ke timur, Resimen Infanteri ke-61 dari Divisi ke4 yang didukung oleh selusin tank melancarkan serangannya terhadap lubang perlindungan kosong yang sebelumnya ditempati oleh orang-orang dari Resimen Infanteri ke-43. Ketika pertempuran mereda sekitar pukul 6 sore, hampir dua pertiga dari tujuan awal musuh, yakni merebut persimpangan Jalur 6 dan 429, telah direbut. Pada titik di mana Jalur 6 dan 429 mencapai bagian belakang gunung Samat, rute 429 berbelok ke timur untuk menyambung dengan Jalur 4. Tentara lalu Jepang mendekati tujuan mereka untuk memotong Gunung Samat dari sisa posisi pertahanan pasukan Sekutu. Didukung oleh keberhasilan tak terduga mereka pada hari pertama serangan darat, tentara Jepang melanjutkan serangan pada pukul 6:30 keesokan paginya dengan intensitas yang sama seperti hari sebelumnya. Tentara Jepang terus menekan lereng barat Gunung Samat dan menyerang Divisi ke-21 Jenderal Mateo Capinpin di sayap kiri tentara Sekutu. Setelah pemboman udara dan artileri selama dua jam, Resimen Infanteri ke-21, paling barat dari tiga resimen pimpinan Capinpin, dihantam oleh serangan infanteri dan tank dari Batalyon Tank ke-7. Tentara Jepang merajalela melintasi orang-orang Filipina yang tak berdaya. 

Dalam foto yang diambil pada bulan Januari 1942, tank ringan Tipe 97 Chi-Ha Jepang menembaki posisi Amerika dan Filipina di hutan pohon palem. Tank Tipe 97 lebih buruk kualitasnya daripada desain tank Amerika kontemporer; namun, tank-tank ini masih efektif melawan konsentrasi pasukan dan berkontribusi pada penaklukan Jepang atas Filipina. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

PERTEMPURAN ENAM HARI

Pada pukul 9 pagi, kurang dari tiga jam setelah bom pertama dijatuhkan, Resimen ke-21 dan ke-23 Filipina diusir dari garis pertahanan utama. Resimen Infanteri ke-22, yang diposisikan di atas akses ke Jalur 4, dipaksa mundur satu jam kemudian. Dalam waktu kurang dari satu setengah hari, tentara Filipina telah meninggalkan sektor selebar tiga mil di depan Gunung Samat. Tanggal 5 April adalah hari ketiga serangan 30 hari yang diantisipasi Jenderal Homma untuk merebut Bataan. Namun, berkat serangan blitzkrieg yang efektif terhadap Gunung Samat, tentara Jepang sudah berada di tengah jalan. Pertempuran untuk merebut Bataan akan berakhir dalam waktu enam hari. Tujuan Jepang pada Minggu Paskah kemudian adalah untuk merebut Jalur 4, dan dengan demikian menyelesaikan pengepungan serta isolasi Gunung Samat, untuk mengamankan ketinggiannya, dan memungkinkan dilanjutkannya penaklukan seluruh Semenanjung Bataan. Setelah mengkonsolidasikan perebutan Jalur 6 dan 429, pasukan Jepang di sebelah kanan memulai serangan mereka di lereng barat gunung. Mereka menemukan jalannya relatif mudah. Bahkan, pada pukul 1 siang, kurang dari tiga jam kemudian, mereka sudah mencapai ketinggian. Namun, sebelum wilayah yang direbut tentara Jepang dapat dikonsolidasikan, pertahanan paling kuat sejauh ini dilakukan oleh unit artileri Amerika ketika tembakan akurat meletus dari meriam-meriam Artileri Lapangan ke-41 yang terletak di lereng selatan atau posisi yang befkebalikan dari gunung. Sampai pengamat garis depan mereka dipaksa mundur dari posisi mereka di ketinggian, senjata artileri Amerika dapat menembakkan langsung meriam kaliber 75mm beroda kayu Model 1917 buatan Inggris dan howitzer kompak Vickers tua kaliber 2,95 inci. Tembakan artileri pertahanan ini menahan serangan tentara Jepang di Jalur 4 sampai bala bantuan tiba sore itu. 

Angkatan Darat ke-14 Jepang mendesak pasukan Amerika dan Filipina yang mempertahankan Kepulauan Filipina ke dalam Semenanjung Bataan di Luzon dan pulau kecil Corregidor di Teluk Manila, dan memaksa mereka menyerah pada bulan Mei 1942. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

AIB DAN EKSEKUSI BAGI JENDERAL HOMMA YANG MENANG 

Sekitar pukul 16:30 pada tanggal 5 April, dengan ditaklukkannya Gunung Samat dan dikuasainya Jalur 429, 6, dan 4, tentara Jepang telah berhasil mengeksekusi serangan blitzkrieg versi mereka sendiri. Selama sisa Perang Pasifik, mereka tidak pernah lagi diberikan kesempatan untuk melakukan serangan semacam itu terhadap pasukan Sekutu. Ketika Semenanjung Bataan jatuh pada tanggal 9 April 1942, sisa-sisa pasukan pertahanan Amerika dan Filipina terpaksa mengungsi ke pulau Corregidor di Teluk Manila. Dari situ, hari-hari terakhir mereka bisa dihitung. Pada tanggal 5 Mei, setelah kehilangan lebih dari setengah dari 2.000 orang pasukan penyerang mereka, tentara Jepang berhasil mengamankan pendaratan di pulau benteng Corregidor. Diperkuat oleh unit tank dan artileri, mereka mampu mengalahkan empat serangan balik tentara Amerika, yang akhirnya menyebabkan Jenderal Wainwright menyerahkan posisi pertahanan itu pada hari berikutnya. Setelah 93 hari pengepungan, pertahanan di Bataan berakhir. Dalam pertempuran di Bataan, pasukan Amerika dan Filipina menderita sekitar 10.000 prajuritnya tewas dan 20.000 terluka sementara tentara Jepang menderita sekitar 7.000 tewas dan 12.000 terluka. Dengan kejatuhan Bataan, 12.000 tawanan perang asal Amerika dan 64.000 orang Filipina jatuh ke tangan Jepang. Bataan Death March yang terkenal dan tiga tahun penawanan yang kejam menanti mereka semua. Pada tanggal 9 Juni 1942, semua perlawanan terorganisir terhadap tentara Jepang di Filipina berhenti.

Jenderal MG Edward King membahas syarat penyerahan diri dengan perwira Jepang. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Tentara Jepang menjaga tawanan perang Amerika dan Filipina. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Homma dipersalahkan lebih karena dialah komandan tertinggi militer Jepang di Filipina saat itu, meski pelaku kejahatan perang kebanyakan adalah anak buahnya yang mengabaikan instruksi Homma. Homma lalu dieksekusi oleh regu tembak pada tahun 1946. (Sumber: https://weaponsandwarfare.com/)

Ironisnya Jenderal Homma tidak pernah dipuji karena telah mengembangkan taktik serangan yang berhasil. Penaklukannya atas Filipina dianggap tertinggal di belakang rencana waktu yang ditetapkan oleh komando tinggi di Tokyo. Operasi yang lebih cepat di Filipina telah diharapkan menyusul kemenangan kilat dalam waktu tiga bulan di Malaya dan Singapura. Perebutan Filipina, yang membutuhkan waktu enam bulan pertempuran, sangat kontras dengan gerakan kilat jenderal Homma terhadap Bataan. Homma kemudian diberhentikan dari komandonya pada bukan Juni 1942 dan dipulangkan dengan membawa aib. Lebih-lebih lagi, Jenderal Hisaichi Terauchi, atasannya tidak menyukai Homma yang dianggap terlalu lunak pada penduduk sipil Filipina, dengan melarang aksi penjarahan dan pemerkosaan, serta memerintahkan tentaranya untuk tidak memperlakukan orang-orang Filipina sebagai musuh, namun agar menghormati adat, tradisi dan agamanya. Namun yang paling membuat marah Terauchi adalah tindakan Homma yang melarang pemasangan pamflet propaganda yang menyatakan Amerika telah mengeksploatasi kepulauan Filipina. Homma mengatakan pada Terauchi bahwa Amerika tidak pernah mengeksploatasi Filipina dan adalah salah jika menyebarkan statement yang salah itu. Dia pensiun dari militer pada tahun 1943. Malangnya, seusai perang, Homma dihukum karena kejahatan perang terkait dengan kebrutalan peristiwa Bataan Death March dan pendudukan Jepang di Filipina, yang mana tuduhan-tuduhan ini bertentangan dengan karakter Homma sendiri. Homma dipersalahkan lebih karena dialah komandan tertinggi militer Jepang di Filipina saat itu, meski pelaku kejahatan perang kebanyakan adalah anak buahnya yang mengabaikan instruksi Homma. Homma lalu dieksekusi oleh regu tembak pada tahun 1946.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

The Japanese Blitz on Bataan By Donald Young

Defending Bataan By Arnold Blumberg

World War II: Battle of Bataan By Kennedy Hickman Updated on July 03, 2019

https://www.thoughtco.com/battle-of-bataan-2360457

THE BATTLING BASTARDS OF BATAAN By Richard Sassaman

http://www.americainwwii.com/articles/the-battling-bastards-of-bataan/

Battle of Bataan, (1942)

https://www.google.com/amp/s/weaponsandwarfare.com/2015/12/18/battle-of-bataan-1942/amp/

THE BATTLE FOR THE BATAAN PENINSULA, PHILIPPINES, 1941–42 Posted on December 7, 2020

The Rising Sun: The Decline and Fall of the Japanese Empire, 1936–1945 by John Toland, 1971;   P 362-363

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *