Others

Night Stalker: Berawal Dari Petaka di Gurun Iran Membuktikan Diri Di Grenada Tahun 1983

Tes operasional pertama dari kemampuan penerbangan Operasi Khusus Angkatan Darat dilakukan pada Operasi URGENT FURY, yakni upaya penyelamatan siswa-siswa Amerika pada tahun 1983 di pulau Karibia, Grenada. Dibentuk setelah penyelamatan sandera Iran tahun 1980 yang gagal, Gugus Tugas ke-160 (Task Force 160/TF 160) adalah hasil dari upaya Angkatan Darat untuk membangun sebuah unit penerbangan yang dirancang khusus untuk mendukung operasi khusus. Setelah upaya Operasi Eagle Claw yang gagal itu, Presiden Jimmy Carter memerintahkan mantan Kepala Operasi Angkatan Laut Laksamana James L. Holloway III untuk mencari cara terbaik bagi militer AS untuk melakukan upaya serupa di kemudian hari. Pada saat itu tidak ada unit helikopter AS yang secara spesifik dilatih dalam misi Operasi Khusus yang penuh kerahasiaan, oleh karenanya sebuah unit penerbangan operasi khusus segera dibutuhkan. Dari pemikiran inilah TF 160 dilahirkan. Divisi Lintas Udara ke-101 kemudian menyediakan elemen-elemen yang menyusun organisasi ini. Awalnya disebut Gugus Tugas ke-158 ketika dibentuk pada tahun 1981, unit ini kemudian diberi nama oleh Angkatan Darat sebagai Batalyon Penerbangan ke-160 dan akhirnya berkembang menjadi Resimen Penerbangan Operasi Khusus ke-160, Night Stalkers. Kompi C dan D dari Batalyon Penerbangan ke-158 Brigade Penerbangan Divisi Lintas Udara ke-101 menyediakan helikopter terbaru yang dipakai Angkatan Darat, yakni UH-60 Black Hawk untuk dipakai satuan ini. Sementara itu helikopter pengintai ringan OH-6A Cayuse (disebut sebagai Little Bird dalam Resimen ke-160) berasal dari Batalyon Helikopter Serang ke-229 dan helikopter angkut berat CH-47 Chinook berasal dari Batalyon Helikopter Pendukung Serangan ke-159. Semua unit ini bermarkas di Fort Campbell, Kentucky. Peristiwa yang terjadi di Karibia kemudian akan memulai uji tempur pertama dari TF 160. Dalam waktu kurang dari sembilan puluh enam jam, Gugus Tugas ini akan disiagakan, dikerahkan, dan melakukan operasi tempur di lingkungan yang tidak bersahabat. 

Helikopter tim penyelamat Amerika berantakan di gurun Iran dalam Operasi Eagle Claw yang gagal tahun 1980. Ketiadaan unit udara operasi khusus ditengarai menjadi salah satu faktor kegagalan operasi penyelamatan sandera di Iran ini. (Sumber: https://www.gbtribune.com/)
Emblem 160th Special Operations Aviation Regiment (Airborne). Pemberntukan Resimen Penerbangan Operasi Khusus ke-160, Night Stalkers merupakan jawaban militer Amerika atas kegagalan Operasi Eagle Claw. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

KOMUNIS DI HALAMAN BELAKANG AMERIKA

Terletak 100 mil (160 km) di utara Venezuela, Grenada adalah yang paling selatan dari rantai kepulauan Karibia yang dikenal sebagai Lesser Antilles. Kira-kira dua kali ukuran wilayah metropolitan Washington DC (131 mil persegi), Grenada adalah pulau berpenduduk padat dengan hampir 100.000 penduduk pada tahun 1983. Pulau Grenada terlihat oleh Christopher Columbus pada tahun 1498 pada pelayaran ketiganya. Kepemilikan pulau ini berpindah tangan berulang kali antara Inggris dan Prancis selama era kolonial, dan menjadi sumber gula yang menguntungkan lewat perkebunan yang mempekerjakan budak asal Afrika. Grenada adalah produsen pala terbesar kedua di dunia, dan banyak mengirimkan pekerjanya ke Amerika Serikat, Kanada, dan pulau-pulau Karibia lainnya. Pulau ini adalah bagian dari Persemakmuran Inggris, dengan Ratu diwakili oleh seorang Gubernur Jenderal. Menjelang intervensi militer Amerika, di Sekolah Kedokteran Universitas St. George di pulau itu terdapat lebih dari 600 orang Amerika. Populasi mahasiswa Amerika sebagian besar terdiri dari individu-individu yang belum masuk ke sekolah kedokteran di Amerika Serikat dan berusaha meningkatkan peluang mereka. Kehadiran mereka merupakan faktor penting ketika kerusuhan politik mengguncang pulau itu. Sir Eric Matthew Gairy, perdana menteri pertama Grenada, sebelumnya telah digulingkan dalam kudeta tak berdarah yang dipimpin oleh Maurice Bishop pada tanggal 13 Maret 1979. “Pemerintahan Revolusioner Rakyat”-nya diperintah dengan menggunakan dekrit, dan dengan cepat menjalin hubungan dekat dengan Kuba dan negara-negara blok Soviet.

Pulau Grenada dan pelabuhan Saint-Georges pada tahun 1776. Pulau Grenada terlihat oleh Christopher Columbus pada tahun 1498 pada pelayaran ketiganya. Kepemilikan pulau ini berpindah tangan berulang kali antara Inggris dan Prancis selama era kolonial, dan menjadi sumber gula yang menguntungkan lewat perkebunan yang mempekerjakan budak asal Afrika. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Kampus Universitas St. George sekitar tahun 1984. Pada saat invasi Amerika tahun 1983, terdapat 600 orang Amerika di Grenada, dimana sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa Amerika di Universitas kedokteran St. George. (Sumber: https://www.facebook.com/)
Perdana Menteri Maurice Bishop dan Menteri Luar Negeri Unison Whiteman di Jerman Timur, 1982. “Pemerintahan Revolusioner Rakyat” pimpinan Bishop dengan cepat menjalin hubungan dekat dengan Kuba dan negara-negara blok Soviet, setelah melakukan kudeta pada tahun 1979. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Pada tanggal 19 Oktober 1983, sebuah kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Hudson Austin menggulingkan pemerintahan Perdana Menteri Maurice Bishop. Tentara Revolusioner Rakyat (People’s Revolutionary Army/PRA) menggantikan pemerintahan Marxis Bishop dengan rezim Marxis yang lebih keras. PRA kemudian mengeksekusi Bishop dan sejumlah sekutu politik utamanya. Austin dan enam belas anggota Dewan Militer Revolusioner (Revolutionary Military Council/RMC) dengan cepat mengambil alih negara itu. Sementara itu, salah satu kelemahan ekonomi dari Grenada adalah landasan pacu di Bandara Pearl milik mereka yang dinilai tidak memadai, dimana terlalu pendek untuk digunakan oleh pesawat jet besar yang mampu membawa turis ke negeri itu. Ketika Amerika Serikat dan negara-negara Barat menolak untuk mendanai landasan pacu baru sepanjang 9.000 kaki di Point Salines di ujung barat daya Grenada, Kuba mengirim pekerja konstruksi dan peralatan pemindah tanah untuk menyelesaikan proyek tersebut. Memantau situasi di pulau itu, komunitas intelijen Amerika Serikat kemudian mengetahui bahwa sejumlah besar militer Kuba ada di pulau itu. Mereka adalah pasukan zeni, yang terlibat dalam pembangunan landasan pacu beton sepanjang 10.000 kaki (3.048 meter) yang mampu didarati oleh pesawat angkut militer Soviet terbesar, seperti An-12, An-22, dan An-124. Keberadaan landasan pacu ini dianggap memunculkan kesempatan bagi Uni Soviet untuk memperluas jangkauan pesawat pengintai Tupolev Tu-95 “Bear” mereka ke kawasan Amerika Selatan, serta dapat digunakan untuk mengirimkan senjata ke gerilyawan anti Amerika di seluruh wilayah itu guna memperluas pengaruh Soviet. 

Jenderal Hudson Austin yang menggulingkan pemerintahan Perdana Menteri Maurice Bishop pada tanggal 19 Oktober 1983. Tentara Revolusioner Rakyat (People’s Revolutionary Army/PRA) pimpinan Hudson pemerintahan Marxis Bishop dengan rezim Marxis yang lebih keras. (Sumber: https://tanks-encyclopedia.com/)
Departemen pertahanan Amerika merilis gambar Point Salines Airfield, yang sedang dikerjakan oleh pasukan zeni asal Kuba saat Operasi Urgent Fury dilancarkan. Keberadaan landasan pacu ini dianggap Amerika dapat memunculkan kesempatan bagi Uni Soviet untuk memperluas jangkauan pesawat pengintai Tupolev Tu-95 “Bear” mereka ke kawasan Amerika Selatan, menggunakannya untuk mengirimkan senjata ke gerilyawan anti Amerika di seluruh wilayah itu guna memperluas pengaruh Soviet. (Sumber: https://www.defensemedianetwork.com/)

Peningkatan fasilitas pendaratan pulau ini, ditambah dengan ketidakpastian atas keselamatan mahasiswa kedokteran Amerika di pulau itu, sudah cukup bagi Presiden Ronald Reagan untuk mengizinkan penggunaan kekuatan militer dalam operasi evakuasi non-kombatan. Para pejabat di Washington khawatir para mahasiswa bisa menjadi sandera dalam krisis yang bisa saja pecah, seperti krisis penyanderaan di Iran pada bulan November 1979 hingga Januari 1981. Sementara itu, pemimpin Kuba Fidel Castro, yang menganggap Bishop sebagai teman dekat, juga sangat marah. Dia memerintahkan orang-orang Kuba di pulau itu untuk mempertahankan posisi mereka jika diserang, tetapi menolak untuk campur tangan atau mengirim bala bantuan. Sementara itu, beberapa negara tetangga pulau Grenada mengambil sikap yang berbeda, terutama Barbados (120 mil jauhnya) dan Dominika (220 mil jauhnya), seperti yang dinyatakan Presiden Ronald Reagan dalam pidatonya kepada rakyat Amerika pada tanggal 27 Oktober 1983: “Akhir pekan lalu, saya terbangun di pagi hari dan diberitahu bahwa enam anggota Organisasi Negara-negara Karibia Timur, bergabung dengan Jamaika dan Barbados, telah mengirim permintaan mendesak agar kami bergabung dengan mereka dalam operasi militer untuk memulihkan ketertiban dan demokrasi di Grenada.” Operasi yang kemudian diluncurkan Amerika itu kemudian akan menjadi operasi besar pertama yang dilakukan oleh militer Amerika sejak berakhirnya Perang Vietnam.

Peta Kepulauan Grenada. (Sumber: https://tanks-encyclopedia.com/)
Pasukan Ranger yang dilibatkan dalam Operasi Urgent Fury. Pasukan ranger dikerahkan bersama dengan asukan Divisi Lintas Udara ke-82 dan pasukan reaksi cepat Angkatan Darat, Marinir, Delta Force Angkatan Darat, Navy SEAL, dan pasukan tambahan yang berjumlah 7.600 prajurit. Operasi ini kemudian akan menjadi operasi besar pertama yang dilakukan oleh militer Amerika sejak berakhirnya Perang Vietnam. (Sumber: https://www.defensemedianetwork.com/)
Orang-orang Milisi Revolusioner Rakyat (PRA) Grenada membawa senapan dan menggunakan Land Rover Seri I atau II sebagai kendaraan transport. PRA secara umum tidak dianggap sebagai ancaman militer yang serius oleh AS, yang lebih khawatir dengan kemungkinan bahwa Kuba akan mengirim pasukan ekspedisi besar untuk campur tangan atas nama sekutu sebelumnya. (Sumber: https://tanks-encyclopedia.com/)

Pasukan penyerang yang dikerahkan Amerika terdiri dari batalyon ke-1 dan 2 dari Resimen Ranger ke-75 Angkatan Darat AS, Pasukan Divisi Lintas Udara ke-82 dan pasukan reaksi cepat Angkatan Darat, Marinir, Delta Force Angkatan Darat, Navy SEAL, dan pasukan tambahan yang berjumlah 7.600 prajurit, bersama dengan pasukan Jamaika dan pasukan dari Sistem Keamanan Regional (Regional Security System/RSS). Menghadapi mereka pasukan PRA dilengkapi dengan berbagai senjata ringan, sebagian besar senapan otomatis berjenis Kalashnikov yang berasal dari blok Soviet, dan sejumlah kecil senapan karabin SKS tua dan pistol mitraliur ringan PPSh-41. Mereka hanya memiliki sedikit senjata berat dan tidak memiliki sistem pertahanan udara modern. PRA secara umum tidak dianggap sebagai ancaman militer yang serius oleh AS, yang lebih khawatir dengan kemungkinan bahwa Kuba akan mengirim pasukan ekspedisi besar untuk campur tangan atas nama sekutu sebelumnya. PRA memang memiliki delapan kendaraan pengangkut personel berlapis baja jenis BTR-60PB dan dua mobil lapis baja BRDM-2 yang dikirim sebagai bantuan militer dari Uni Soviet pada Februari 1981, tetapi mereka tidak memiliki tank.

PERSIAPAN TASK FORCE 160 KE GRENADA

Ketika disiagakan di tengah malam pada tanggal 21 Oktober, Chief Warrant Officer Dave Bramel dan pilot serta awak helikopter UH-60 Black Hawk Satuan Tugas 160 lainnya, awalnya percaya bahwa ini hanya latihan biasa seperti sebelumnya. Para kru kemudian memuat sembilan helikopter Black Hawk di pesawat transport raksasa C-5 Galaxy di Fort Campbell untuk diterbangkan ke Pangkalan Angkatan Udara Pope, di North Carolina, dan kemudian ke area persiapan di Barbados. Dengan cepat menjadi jelas bagi semua orang bahwa ini bukanlah sekedar latihan rutin. Elemen lain dari Gugus Tugas juga dipanggil. Pada tanggal 22 Oktober di Yuma Proving Ground, Arizona, pilot instruktur Chief Warrant Officer 2 Jim Dietderich menerbangkan MH-6 dengan siswa pilot Warrant Officer Mike Gwinn dalam Kursus Instruktur Senjata dan Taktik ketika mereka diberitahu untuk segera kembali ke Fort Campbell. Di pesawat yang terbang kembali, Dietderich memperhatikan berita utama tentang pemboman barak Marinir Amerika di Lebanon dan berasumsi bahwa tempat ini adalah tujuan mereka. Kedua pilot MH-6 Little Bird lalu mengambil perlengkapan pribadi mereka di Fort Campbell dan mengejar penerbangan keesokan paginya ke Fort Bragg, Carolina Utara. Di sana mereka bergabung dengan elemen lain dari Satuan Tugas. “Ketika kami tiba di Fort Bragg, terdapat rasa urgensi yang berbeda,” kenang David Bramel. Bramel dan pilot lainnya kemudian mengikuti sesi pengarahan misi. “Orang G-2 (unit keamanan) yang memberi kami pengarahan intelijen memberi tahu kami bahwa ‘tidak lebih dari enam orang Kuba yang ada di pulau itu dan kalian akan membuat orang-orang melambaikan tangan saat Anda tiba di pantai.’ Misinya adalah untuk mengusir orang-orang Kuba dari Point Salines Airfield. Tidak disebutkan saat itu tentang keberadaan mahasiswa kedokteran di Grenada. 

Peta wilayah Karibia yang menunjukkan rute penerbangan pesawat C-5 yang membawa helikopter-helikopter UH-60 ke Barbados dan C-130 yang membawa helikopter-helikopter Little Bird ke Grenada. (Sumber: https://arsof-history.org/)
Sebuah pesawat KC-135 Stratotanker, C-141B Starlifter dan C-5A Galaxy diparkir di landasan. Galaxy dan Starlifter, bersama dengan pesawat angkut Hercules menjadi tulang punggung armada angkut Amerika dalam Operasi Urgent Fury. (Sumber: https://picryl.com/)
Helikopter-helikopter Little Bird diterbangkan langsung ke Grenada dengan pesawat C-130 Hercules Angkatan Udara Amerika. (Sumber: https://arsof-history.org/)

“Kurangnya potensi perlawanan ditekankan ketika Bramel dan pilot lainnya diberikan pistol kaliber .38 sebagai senjata pertahanan diri. “Orang yang memberikan senjata memberi saya enam peluru dan memberi tahu saya bahwa saya harus mengembalikannya setelah misi karena (amunisi) semuanya berasal dari satu lot dan harus dapat dipertanggungjawabkan. “Pada helikopter UH-60, dua senapan mesin M60 yang dipasang pada dudukan senjata yang diawaki oleh kepala awak helikopter untuk memberikan perlindungan. Setelah pengarahan misi, para pilot kembali ke jalur penerbangan di mana mereka terhubung dengan pasukan operasi khusus yang akan naik helikopter. “Sebelum kami pergi, kami semua menggambar beberapa sketsa di tanah untuk mendapatkan ide dasar tentang bagaimana kami akan mengeksekusi misi ini.” Bramel berpikir pada dirinya sendiri bahwa itu “seperti ketika saya berada di Vietnam.” Di Pangkalan Angkatan Udara Pope, sembilan helikopter UH-60 berada di dalam pesawat C-5 dari 436th Military Airlift Wing yang menjemput mereka di Fort Campbell untuk menerbangkannya ke tujuan mereka di pulau Barbados. Pada saat yang sama, dua helikopter AH-6 dan enam MH-6 Little Bird dimuat di empat pesawat angkut C-130 Hercules. Pesawat-pesawat Hercules ini akan terbang langsung ke Point Salines Airfield setelah serangan parasut yang dieksekusi oleh pasukan Ranger. Sementara itu, para prajurit Ranger yang akan mengendarai helikopter MH-6 dimuat ke dalam pesawat bersama para kru Little Bird. Semua pesawat C-5 dengan helikopter-helikopter Black Hawk yang dibawanya mengudara pada pukul 20:00 tanggal 24 Oktober, kurang dari empat puluh delapan jam setelah disiagakan. Pesawat-pesawat C-130 dengan muatan helikopter-helikopter Little Bird mengikuti pada dini hari tanggal 25, langsung menuju Point Salines.

TIGA MISI UTAMA

Satgas ke-160 memiliki tiga tujuan utama dalam invasi di pulau Grenada. Helikopter-helikopter UH-60 akan mengirimkan pasukan operasi khusus di Penjara Richmond Hill; di rumah Gubernur untuk menyelamatkan Sir Paul Scoon, sang Gubernur Jenderal; dan di stasiun penyiaran radio dan televisi pulau itu di Beausejour. Sementara itu, helikopter-helikopter MH-6 akan membawa pasukan Ranger ke target sekunder di kota St. George. Misi aslinya merencanakan penyisipan terjadi pada pukul 01:00 pada tanggal 25, lima jam setelah meninggalkan Pangkalan Angkatan Udara Pope, untuk memanfaatkan penuh kegelapan dan keahlian pilot TF 160 dalam terbang dengan menggunakan kacamata penglihatan malam. Penundaan penerbangan pada pesawat Angkatan Udara, perencanaan pra-misi yang kacau, dan inefisiensi staf antar-layanan kemudian menyebabkan jadwal waktu berantakan. Tiga pesawat C-5 mendarat di Barbados antara pukul 02:50 dan 03:30 dan meskipun ada upaya habis-habisan oleh TF 160 untuk menyiapkan UH-60 dan siap untuk berangkat, helikopter-helikopter mereka tidak beranjak sampai pukul 05:30, saat cahaya mentari menyebar di Barbados. Pada saat helikopter-helikopter TF 160 lepas landas dalam penerbangan selama 45 menit ke Grenada, invasi oleh pasukan konvensional sedang berlangsung. Dengan ini pasukan operasi khusus tidak akan mengejutkan musuh. Saat pesawat melaju menuju Grenada, para pilot menyetel ke stasiun radio lokal di mana, dengan cemas, mereka mendengar penyiar menyuruh penduduk setempat untuk mengambil senjata mereka dan menembak jatuh helikopter-helikopter Amerika yang mendekat. Mendengar berita ini, meskipun ada larangan uji coba menembakkan senjata ke sasaran, pilot segera meminta kru mereka untuk menembakkan senapan mesin M60 mereka sebagai persiapan. Mereka menemukan bahwa amunisi untuk senapan mesin adalah amunisi biasa, bukan amunisi mini-gun yang diperlukan, yang bisa menyebabkan senjata macet. Saat sembilan helikopter mendekati pulau itu, lima helikopter Black Hawk menuju Penjara Richmond Hill diikuti oleh dua helikopter yang ditugaskan untuk membawa pasukan ke rumah Gubernur. Keduanya kemudian memisahkan diri saat dekat dari penjara dan menuju rumah Gubernur. Sementara itu, dua helikopter Black Hawk yang tersisa menuju ke stasiun radio saat mendekati pulau itu.

Penjara Richmond Hill di Grenada. (Sumber: https://www.alamy.com/)
Sir Paul Scoon, Gubernur Jenderal Inggris di Grenada. Keselamatannya menjadi salah satu misi utama TF 160 dalam Operasi Urgent Fury. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Peta area St. George dan sekitarnya. (Sumber: https://arsof-history.org/)

PERLAWANAN KERAS DI RICHMOND HILL

Penjara Richmond Hill mewakili gambaran target yang tangguh. Bertengger di lereng bukit tinggi yang membentang seperti tulang belakang ke utara dan selatan satu kilometer di atas ibu kota St. George, penjara itu memiliki tembok setinggi dua puluh kaki (6 meter), di atasnya terdapat kawat berduri dan menara pengawas. Tidak ada zona pendaratan di lereng bukit yang sempit dan berliku-liku itu dan oleh karenanya pasukan operasi khusus dimasukkan dengan menggunakan teknik fast roping  yang dipelopori oleh TF 160. Laporan intelijen menyebutkan bahwa penjara itu berfungsi sebagai markas besar RMC pimpinan Jenderal Austen dan kemungkinan akan dijaga dengan baik. Lebih buruk lagi, 500 meter ke sebelah timur dan 150 meter di atas penjara menjulang Fort Frederick, markas besar Tentara Revolusioner Rakyat. Penempatan kedua kompleks ini menyebabkan helikopter-helikopter TF 160 harus terbang melewati medan tembak. Saat penerbangan helikopter-helikopter Black Hawk mengitari bukit besar dan mulai mendekat, mereka ditembaki oleh pasukan yang ada di dalam dan di sekitar penjara. Semua helikopter mengalami kerusakan dengan hampir setiap awaknya terluka. “Mereka sudah siap untuk menyambut kita,” kenang Bramel. “Kami menstabilkan tali untuk pendaratan, tetapi tidak pernah melakukan eksekusi. Saya melihat ke bawah kanan saya dan ada seorang penjaga Kuba dengan senapan AK-47-nya dimana dia baru saja merobek helikopter saya. . . . Kami berada di sana selama sekitar lima detik, mungkin sepuluh detik, dan saya berkata ‘Jangan pergi, jangan pergi.’ 

Helikopter Black Hawk dalam Operasi Urgent Fury. Buruknya data intelijen dan kacaunya perencanaan operasi, menyebabkan awak Black Hawk TF 160 kehilangan unsur kejutan dalam menjalankan misiny. (Sumber: https://nara.getarchive.net/)
Kapten Keith Lucas, satu-satunya korban gugur dari TF 160 saat Operasi Urgent Fury. Helikopter Black Hawk yang ditungganginya ditembak jatuh saat penyerangan ke penjara Richmond Hill. (Sumber: https://www.army.mil/)

Kami kembali berkeliling dan, saya tidak yakin apakah kami mendapatkan ijin dari komandan di darat, tetapi kami pergi kembali. Mereka memiliki lebih banyak orang yang menunggu kami kali ini. Kami kembali ke tempat yang sama dan penjaga yang sama di sana menembaki helikopter saya.” Bramel tertembak sebuah peluru menembus kaki yang membuat kakinya jatuh dari pedal kendali. Mayor Larry Sloan, komandan kompi, berada di kursi kabin dan punggungnya tertembak oleh peluru yang seharusnya akan mengenai kepala Bramel. Salah satu operator pasukan khusus Delta Force lalu mencondongkan tubuh keluar dari pintu dan menembak penjaga Kuba itu. Para pilot Black Hawk dengan panik meninggalkan area itu tanpa menurunkan penumpangnya. Bramel mengenang, “tembakannya luar biasa. Saya menelepon melalui radio dan berkata ‘Saya pergi’ dan saya keluar.” Black Hawk yang diterbangkan oleh Chief Warrant Officer Paul Price dan Kapten Keith Lucas meninggalkan penjara pada saat yang bersamaan. Bramel ingat kepergiannya dari tempat kejadian, “Saya pasti terbang rendah dan cepat di Fort Frederick dan mereka tidak melihat saya. Mereka kemudian menembaki helikopter Price. Saya bisa melihat pecahan keluar dari helikopter Price akibat peluru yang mengenainya. Helikopter itu kemudian terbalik dan jatuh masuk ke pepohonan. ” Kapten Keith Lucas yang berada di atas helikopter yang jatuh itu tewas oleh tembakan saat terbang melewati Fort Frederick. Tiga tentara lainnya tewas ketika helikopter itu jatuh di Bukit Amber Belair. Penumpang dan awak lainnya berjuang di bawah tembakan musuh yang berat untuk menjauh dari helikopter. Helikopter Sea King Angkatan Laut kemudian mengevakuasi mereka setelah pasukan Ranger dan lebih banyak prajurit operasi khusus datang untuk mengamankan lokasi kecelakaan. Lucas kemudian menjadi satu-satunya korban meninggal yang diderita oleh TF 160 selama Operasi URGENT FURY. Empat helikopter lainnya dihalau dari penjara menuju ke laut dengan penuh prajurit yang terluka. Ketika  bisa mencapai lepas pantai dengan aman, para pilot kemudian melihat kapal perang Angkatan Laut, USS Guam dan terbang menuju ke sana. Helikopter-helikopter ini mengitari kapal dan Bramel mendaratkan Black Hawk-nya di dek meskipun ada upaya panik oleh awak kapal untuk mencegah helikopter-helikopter itu mendarat. “Saya mendarat dan ‘air boss‘ di kapal itu datang tergesa-gesa siap untuk memarahi saya dan orang-orang yang terluka, yang baru saja mendarat. Setelah melihat kondisi, kami kemudian mendapat perawatan medis dan masing-masing helikopter mendarat secara bergantian.” Helikopter-helikopter ini, pada titik ini hampir tidak layak untuk terbang, kemudian kembali ke Point Salines Airfield. Mereka rusak terlalu parah sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan penerbangan kembali ke Barbados saat itu.

MENGAMANKAN GUBERNUR JENDERAL

Point Salines belum diamankan sepenuhnya pada saat helikopter-helikopter Black Hawk tiba. Para pilot kemudian memarkir helikopter mereka di sisi kiri lapangan terbang bersebelahan dengan tanggul pasir dan mematikan mesin. Helikopter-helikopter ini segera menarik tembakan senjata ringan, dan Bramel serta awak pesawat lainnya melakukan apa yang mereka bisa untuk mengambil posisi bertahan. “Kami mengambil senapan-senapan mesin M60 kami dan menyebarkannya dan, tentu saja, saya memiliki pistol kaliber .38 saya dengan enam peluru. Sekitar waktu itu saya melihat ke atas dan nampaklah formasi besar pesawat-pesawat angkut C-141 Starlifter yang membawa pasukan-pasukan Ranger untuk diterjunkan di lapangan terbang.” Dengan para prajurit Ranger di darat mengamankan lapangan terbang, empat helikopter Black Hawk dari misi di Penjara Richmond Hill tetap berada di lapangan terbang. Sementara itu helikopter-helikopter Black Hawk TF 160 lainnya bernasib lebih baik dengan misi mereka. Sir Paul Scoon, Gubernur Jenderal Grenada, dan istri serta stafnya dibangunkan pada pagi hari tanggal 25 itu oleh suara helikopter yang mendekat dan derak tembakan senjata ringan serta tembakan artileri pertahanan udara. Dua helikopter TF 160 tiba di atasnya membawa pasukan operasi khusus Navy SEAL.

Pesawat gunship AC-130 Spectre diperbantukan dalam mendukung pasukan khusus Navy SEAL mengamankan gubernur jenderal Sir Paul Scoon. (Sumber: https://duotechservices.com/)
Foto BTR-60PB yang rusak di dekat Gedung Pemerintah karena tembakan dari pesawat gunship AC-130. (Sumber: Mike Stelzel & Pinterest/https://tanks-encyclopedia.com/)

Pada upaya pertama untuk menurunkan pasukan dengan cepat ke pekarangan mansion, tembakan hebat telah memaksa pilot untuk membatalkan upaya tersebut dan kembali ke kapal induk USS Guam dan menurunkan sejumlah prajurit yang terluka. Mereka kemudian melakukan upaya kedua; dua puluh dua operator pasukan khusus Navy SEAL kemudian berhasil mendarat dengan cepat di pekarangan mansion dan mengamankan gedung dan Gubernur Jenderal. Misi tersebut kemudian membutuhkan tim untuk menunggu kedatangan pasukan darat di hari berikutnya ketimbang mencoba mengevakuasi rombongan Scoon dengan menggunakan helikopter. Tim penyelamat di darat lalu segera menemukan dirinya dalam pertempuran sengit dengan pasukan PRA yang memindahkan sebuah kendaraan pengangkut personel lapis baja BTR-60 ke gerbang pekarangan mansion. Sebuah pesawat gunship AC-130 Spectre kemudian tiba mengamankan situasi dan menahan para penyerang. Seperti halnya pasukan operasi khusus di lapangan, AC-130 beroperasi di siang hari karena terlambatnya operasi. Para operator pasukan khusus SEAL kemudian bertahan sepanjang malam dengan didukung oleh Pesawat gunship AC-130, pesawat serang A-7 Corsair, dan helikopter serang AH-1 Cobra. Mereka baru bisa dibebaskan keesokan harinya. Sementara itu, kedua helikopter Black Hawk telah kembali ke Point Salines Airfield. Di tempat lain hal-hal tidak berjalan dengan baik bagi tim yang dikirimkan untuk merebut pemancar radio.

UPAYA GAGAL MENGAMANKAN STASIUN RADIO

Dua Black Hawk yang tersisa dari gugus tugas membawa operator khusus dari unit SEAL tim 6 yang misinya adalah mendaratkan dan mengamankan stasiun radio dan TV Beausejour agar dapat digunakan untuk operasi-operasi psikologis. Kedua pilot tidak kesulitan mengidentifikasi target yang berada beberapa ratus meter dari pantai. Pasukan yang didaratkan keluar dari helikopter dan berlari masuk untuk mengamankan gedung serta menghancurkan pemancar radio. Mempertahankan gedung kemudian terbukti lebih sulit. Tim menghadapi perlawanan berat sepanjang hari, dan akhirnya diusir dari lokasi oleh sebuah kendaraan pengangkut personel lapis baja. Para personel SEAL yang bersenjata ringan kemudian turun ke pantai, di mana setelah gelap mereka berenang kembali ke kapal perusak USS Caron. Kedua Black Hawk lalu kembali ke Point Salines dan tetap bersama enam helikopter lainnya di pulau saat malam tiba. Di lapangan terbang, pasukan Ranger secara metodis memperluas wilayah mereka dan terus mendesak tentara PRA mundur kembali. Helikopter-helikopter Black Hawk menghabiskan sisa malam itu di Point Salines. Hari berikutnya mereka bergabung dengan helikopter-helikopter Little Bird, elemen satuan tugas lain yang sampai sekarang belum dilibatkan. Pada tanggal 25 Oktober, dua helikopter AH-6 dan enam MH-6 Little Bird diturunkan dari empat pesawat C-130 di Point Salines dekat Terminal Udara. Sesi pelatihan sebelumnya dengan personel Ranger saat prosedur build-up terbayarkan karena helikopter-helikopter Little Bird dengan cepat bisa dibuat siap tempur. Pilot-pilot Black Hawk kemudian memperingatkan rekan-rekan kru Little Bird mereka tentang kondisi yang tidak bersahabat di atas kota. Misi pertama Little Bird berumur pendek. Saat dua helikopter AH-6 mendaki bukit di atas Point Salines dan menuju ke teluk, mereka menghadapi tembakan hebat dan dengan cepat kembali ke lapangan terbang. Sepenuhnya waspada, mereka menggunakan rute pendekatan yang berbeda dan kemudian memberikan tembakan penekan yang sangat efektif selama proses penyelamatan orang-orang dan peralatan dari helikopter Black Hawk yang jatuh di Amber Belair Hill. Di tempat lain gencarnya tembakan yang dihadapi oleh helikopter-helikopter AH-6 di atas kota menyebabkan misi penyisipan  pasukan Ranger oleh helikopter-helikopter MH-6 kemudian dibatalkan. Di sisi lain misi Little Bird dalam serangan ke Fort Rupert, bagaimanapun, berhasil menangkap beberapa pemimpin Pemerintah Revolusioner Rakyat.

Pemandangan udara dari stasiun Radio Free Grenada, di utara Saint George’s, diambil selama Operasi URGENT FURY. (Sumber: https://nara.getarchive.net/)
Chief Warrant Officer 4 James Dietderich dan Warrant Officer Mike Gwinn melakukan tiga kali perjalanan pulang pergi ke USS Guam untuk mengangkut orang-orang yang terluka ke kapal. Jim Dietderich bekerja sebagai Petugas Keamanan USASOC. (Sumber: https://arsof-history.org/)
Deretan UH-60 mendarat di sepanjang landasan Point Salines Airfield. (Sumber: https://arsof-history.org/)

Di Point Salines Chief Warrant Officer 2 Dietderich dan tim helikopter MH-6 berpindah dari apron lapangan udara tempat mereka menurunkan muatan, dan memindahkan helikopter mereka dan personel Ranger ke posisi yang lebih terlindungi dalam suatu tempat di ujung lapangan terbang. Satu helikopter MH-6 rusak dalam manuver ketika rotor ekornya menabrak tanah yang tidak rata. Dengan misi yang telah direncanakan sebelumnya, helikopter-helikopter MH-6 Little Bird tetap berada di lapangan terbang bersama pasukan Ranger dan kemudian pasukan yang baru tiba dari Divisi Lintas Udara ke-82 memperluas perimeter di sekitar Point Salines. Dua dari kepala kru helikopter AH-6, Sersan Steven R. Nelson dan Sersan David L. Godsey, lalu menggunakan buldoser di lapangan terbang dan membangun tanggul untuk menyimpan amunisi helikopter AH-6. Helikopter-helikopter Little Bird tetap di tempatnya sampai hari berikutnya ketika mereka membantu petugas medis dari Divisi Lintas Udara ke-82 dengan mengevakuasi yang terluka dari landasan. Pada pagi hari tanggal 26 Oktober, hari kedua operasi, pilot-pilot helikopter MH-6 menanggapi permintaan Divisi Lintas Udara ke-82 untuk melakukan evakuasi beberapa tentara yang terluka. Para pilot memuat mereka yang terluka dan menerbangkan mereka ke USS Guam. “Guam seharusnya menjadi kapal pendukung kami, tetapi kami tidak tahu di mana itu dan kami tidak memiliki frekuensi yang tepat untuk berbicara dengan personel Angkatan Laut,” kenang Jim Dietderich. “Begitu Guam bergerak dan kami bisa melihatnya, kami terbang ke sana dan menurunkan personel yang terluka. Kami tidak dilatih tentang protokol untuk mendarat di kapal induk dan bagi saya itu tampak seperti landasan pacu mengambang yang panjang, jadi saya masuk dari belakang dan hanya mendarat di tengah geladak.” Lima MH-6 kemudian membuat tiga kali perjalanan pulang pergi sebelum mereka ditarik dari misi untuk memuat ulang helikopter mereka ke atas dua pesawat C-141 untuk penerbangan kembali ke Amerika Serikat. Kru helikopter-helikopter UH-60 juga menerima kabar bahwa mereka akan kembali ke Barbados.

DEBUT YANG MENIMBULKAN HARAPAN

Pada sore hari tanggal 26 Oktober, pilot-pilot Black Hawk disuruh terbang kembali ke Barbados malam itu. Lima dari helikopter itu rusak parah dan membutuhkan perbaikan ekstensif. Mereka memang menerima satu bilah rotor pengganti dari pesawat C-130 untuk mengganti satu helikopter yang rusak parah saat misi di penjara. Mereka dapat memasang bilah rotor sore itu. Meskipun helikopter-helikopter itu mengalami kerusakan akibat pertempuran dan tinggal menyisakan sedikiu bahan bakar, khususnya di helikopter Bramel dan Chief Warrant Officer 4 Marc Moller, Delapan Black Hawk berangkat malam itu ke Barbados. Tanpa pengawalan dari helikopter penyelamat, flight itu itu tidak memiliki kemampuan untuk memulihkan diri. Dengan instrumen yang rusak dan sedikit sistem navigasi yang berfungsi, penerbangan dilakukan dengan mengikuti perkiraan azimuth yang kasar sampai mereka bisa melihat cahaya lampu di Barbados. Helikopter Bramel melintasi pantai di ambang kehabisan bahan bakar. Dia dengan cepat mencari tempat pendaratan yang cocok. Saat helikopter melayang, satu mesin mati, dan saat helikopter berhenti, mesin keduanya mati. Kemudian, mereka memuat helikopter-helikopter itu ke pesawat C-5 dan kembali ke Fort Campbell. Bagi Gugus Tugas 160, Operasi URGENT FURY memvalidasi program pelatihan yang menghasilkan pilot dan awak profesional paling berpengalaman untuk bertahan hidup di lingkungan yang tidak bersahabat di Grenada. Mantan Ketua Gabungan Kepala Staf, Jenderal Henry H. Shelton, menggambarkan Night Stalkers, sebagai berikut: “Sepanjang sejarah singkat Resimen ke-160, para penerbangnya telah memelopori taktik dan teknik penerbangan malam, memimpin pengembangan peralatan dan prosedur baru, memenuhi panggilan untuk menjalankan tugas di mana pun, dan mendapatkan reputasi untuk keunggulan dan keberanian yang tidak ada duanya.”

Point Salines Airfield dengan dengan deretan helikopter dari unit TF 160. Bagi Gugus Tugas 160, Operasi URGENT FURY memvalidasi program pelatihan yang menghasilkan pilot dan awak profesional paling berpengalaman untuk bertahan hidup di lingkungan yang tidak bersahabat di Grenada. (Sumber: https://arsof-history.org/)
Anggota Angkatan Pertahanan Karibia Timur berpartisipasi dalam Operasi Urgent Fury. Termasuk personel Pasukan Polisi Kerajaan Barbados dan tentara dari berbagai kebangsaan yang tidak diketahui. Sejak invasi Amerika tahun 1983, Grenada telah kembali ke sistem demokrasi parlementer dan tetap stabil secara politik hingga sekarang. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)

Sementara itu dalam menyelesaikan operasi militernya, pasukan Amerika menderita korban 19 tewas dan 116 terluka; sedangkan pasukan Kuba menderita korban 25 tewas, 59 terluka, dan 638 kombatan ditangkap. Pasukan Grenada sendiri menderita korban 45 orang tewas dan 358 luka-luka; sedikitnya 24 warga sipil juga tewas, 18 di antaranya tewas dalam pengeboman tak disengaja di rumah sakit jiwa Grenada. Dalam prosesnya  Pasukan AS juga menghancurkan sebagian besar peralatan berat militer Grenada, termasuk enam APC BTR-60 dan sebuah mobil lapis baja BRDM- 2. Setelah invasi pemerintah Amerika dan Karibia dengan cepat menegaskan kembali kedudukan Scoon sebagai satu-satunya perwakilan sah Ratu Elizabeth di Grenada, dan karenanya ia merupakan satu-satunya otoritas yang sah di pulau itu. Sesuai dengan praktik konstitusional Persemakmuran, Scoon mengambil alih kekuasaan sebagai kepala pemerintahan sementara dan membentuk dewan penasihat yang menunjuk Nicholas Brathwaite sebagai ketua sambil menunggu pemilihan baru. Partai Nasional Grenada kemudian memenangkan pemilihan umum pada bulan Desember 1984 dan membentuk pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Herbert Blaize. Sejak itu, Grenada telah kembali ke sistem demokrasi parlementer dan tetap stabil secara politik hingga sekarang.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

TASK FORCE 160 IN OPERATION URGENT FURY by Kenneth Finlayson

https://arsof-history.org/articles/v2n2_tf160_page_1.html

Urgent Fury: U.S. Special Operations Forces in Grenada, 1983 BY MIKE MARKOWITZ – JUNE 3, 2013

https://en.m.wikipedia.org/wiki/United_States_invasion_of_Grenada

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Grenada

https://en.wikipedia.org/wiki/160th_Special_Operations_Aviation_Regiment_(Airborne)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *