Perang Dunia II

Operasi Flipper, November 1941: Gagalnya Misi Membunuh Si “Rubah Gurun” Rommel

Pada awal April 1941, Komandan Korps Afrika, Letnan Jenderal Erwin Rommel dari Jerman, bersama dengan unit-unit Italia, telah mengusir kekuatan militer Inggris dari Libya kecuali mereka yang bertahan di pelabuhan Tobruk. Sementara itu Divisi ke-9 Australia telah kembali ke Tobruk, dan oleh karenanya Jenderal Archibald Wavell, komandan pasukan Persemakmuran di Afrika Utara, meminta agar Tobruk dipertahankan selama dua bulan, sampai ia dapat mengatur kekuatannya kembali dan dengan bala bantuan yang akan datang, kembali menyerang pasukan Axis di Afrika Utara. Garnisun Tobruk, yang dipimpin oleh Mayjen Leslie Morshead dari Australia, terdiri dari Divisi ke-9 yang terdiri dari tiga brigade infantri ditambah Brigade ke-18 dari Divisi ke-7 Australia, bersama dengan Brigade Lapis Baja ke-3 Inggris dan empat resimen artileri Inggris — artileri lapangan, antitank, dan antipesawat. Ada juga beberapa ribu pasukan pertahanan — Inggris, Australia, India, dan lainnya — semuanya berjumlah 31.000 orang, dimana 24.000 di antaranya adalah pasukan tempur. Pada tanggal 12 April, Rommel melakukan serangan pertamanya ke Tobruk, namun bisa dipukul mundur kembali oleh mereka yang bertahan. Sejak saat itu Rommel terus-menerus menyerang, tetapi Tobruk tetap bertahan, bukan hanya selama dua bulan tetapi selama delapan bulan. Setahun sebelumnya, dari tanggal 28 Mei hingga 4 Juni 1940, Pasukan Ekspedisi Inggris yang telah dikalahkan Jerman mendarat kembali di Inggris dari pantai Dunkirk, Prancis. Seminggu kemudian Perdana Menteri Winston Churchill, menetapkan bahwa Angkatan Darat Inggris tidak akan terus berada dalam mentalitas defensif yang mana sikap semacam ini telah menyebabkan keruntuhan militer Prancis.

Kendaraan militer Inggris berserakan di pantai Dunkirk, setelah penarikan mundur Tentara Inggris dari daratan Eropa. Setelah Dunkirk, Winston Churchill, PM baru Inggris menetapkan bahwa militer Inggris harus meninggalkan mentalitas defensif, yang terbukti menjadi bencana di Prancis tahun 1940. (Sumber: Pinterest)

KOMANDO INGGRIS

Dalam pidatonya di House of Commons pada tanggal 4 Juni, Perdana Menteri Winston Churchill menganjurkan pembentukan segera pasukan yang dapat melakukan serangan skala kecil di wilayah musuh. Ia kemudian menyetujui pembentukan selusin unit penyerangan yang mandiri, terlatih, dan lengkap dengan masing-masing beranggotakan 1.000 personel untuk terus mengganggu kedudukan Jerman di sepanjang pantai selat Channel. Pada tahap ini, cara ini adalah satu-satunya cara dimana Tentara Inggris dapat terus berperang berperang melawan kekuatan Axis. Tugas membentuk unit-unit semacam itu diberikan kepada Letnan Kolonel Dudley Clarke, seorang perwira Artileri Kerajaan yang dikaruniai imajinasi yang tidak biasa. Imajinasi di kalangan perwira Inggris amat terbatas pada masa awal Perang Dunia II, dimana korps perwira sering digambarkan sebagai golongan paling tertutup dan ortodoks dalam sejarah militer Kerajaan Inggris. Sejarawan militer Correlli Barnett mencatat bahwa Angkatan Darat Inggris “adalah sebuah anakronisme, dimana umumnyq para petani dipimpin oleh para bangsawan dan golongan elit.” Clarke amat menyadari hal ini. Ia tumbuh di Afrika Selatan dan sempat bertugas di Palestina pada 1930-an selama pemberontakan Arab dimana dia menyaksikan perang gerilya disana. Dia menyebut unit yang dibentuknya sebagai “Komando” mengikuti nama gerilyawan Kommando Boer, yang mampu bergerak cepat dalam perang di Afrika Selatan. Sementara itu sebagai mantan koresponden berita selama Perang Boer Kedua 1899-1902, Churchill senang ketika stafnya itu menyarankan untuk menyebut satuan ini sebagai “Commandos,” yang didasarkan pada kesuksesan militer dari milisi Kommando Boer yang bertempur dan menimbulkan banyak kerugian pada Angkatan Darat Inggris di sepanjang perang di benua Afrika itu.

3 anggota unit komando Boer, sekitar tahun 1900. Pemilihan nama Komando untuk satuan ofensif yang direkomendasikan Churchill untuk menyerang instalasi-instalasi militer Jerman, terinspirasi dari sepak terjang Komando Boer dalam Perang Boer di Afrika Selatan yang banyak merepotkan tentara Inggris. (Sumber: https://www.gettyimages.com/)

Clark kemudian menetapkan bahwa personel Komando harus merupakan sukarelawan, yang secara fisik bugar seperti atlet terbaik, dilatih dengan standar tertinggi dalam penggunaan senjata infanteri, dan mampu membunuh atau menangkap musuh dengan cepat dan tanpa suara. Mereka akan beroperasi lebih banyak dalam kegelapan daripada siang hari, disamping dapat bekerja dalam kelompok kecil dan secara individu, berpikir secara mandiri, dan menggunakan inisiatif mereka. “Komando,” katanya, “harus berpikiran ofensif.” Beberapa unit komando dibentuk di Inggris dan salah satunya di Skotlandia, yakni Komando nomor 11 (Skotlandia). Komandannya adalah Letnan Kolonel Dick Pedder, seorang perwira berusia 35 tahun dari Highland Light Infantry. Pada awal pendiriannya, satuan ini mencakup 10 unit pasukan yang terdiri dari 50 orang setiap unit, masing-masing dengan seorang komandan dan satu atau dua perwira lainnya. Salah satu personel Komando yang cukup menonjol adalah Geoffrey Charles Tasker Keyes.

GEOFFREY CHARLES TASKER KEYES

Geoffrey Charles Tasker Keyes adalah seorang pria muda yang penuh semangat. Kakeknya adalah seorang jenderal yang mendapat gelar ksatria di Angkatan Darat Inggris di India. Ayahnya, Laksamana Roger Keyes adalah pahlawan angkatan laut dalam Perang Dunia I yang terkenal pernah memimpin sebuah serangan yang sukses terhadap fasilitas kapal selam Jerman di Belgia, penerima gelar ksatria dan baronetcy. Dengan latar belakang semacam ini Keyes muda memiliki tantangan untuk mengharumkan namanya sendiri. Sebagai prajurit, Geoffrey Keyes tidak pernah kuat secara fisik, dan karena penglihatannya yang buruk, telah menghalanginya untuk masuk Angkatan Laut Kerajaan, yang diinginkannya. Pendengarannya juga kurang, dan dia terpaksa meninggalkan aktivitas tinju dan mendayung selama kuliah di Eton karena adanya potensi kerusakan pada telinga dan lengkungan pada tulang belakangnya. Sudah kecewa karena putranya gagal mengikutinya langkahnya di Angkatan Laut, Laksamana Keyes bertambah kecewa dengan kenyataan Geoffrey diterima di Royal Scots Grays, yang perwiranya biasanya adalah anak-anak pengusaha, bukan satuan Life Guard yang elit.

Geoffrey Charles Tasker Keyes, putra Admiral Roger Keyes, Pahlawan Inggris dalam Perang Dunia I. Keyes muda berambisi untuk mencatat namanya seperti ayah dan kakeknya. (Sumber: https://www.historynet.com/)

Setelah lulus dari Akademi Militer Kerajaan Sandhurst, Keyes muda bergabung dengan resimen kavaleri pada tahun 1937, sempat bertugas di Norwegia, dan pada tahun 1940 mengajukan diri untuk unit yang sepenuhnya baru — Komando. Bulan berikutnya, Churchill menempatkan Sir Roger Keyes untuk bertanggung jawab atas semua kegiatan satuan Komando. Putranya, Geoffrey, yang saat itu berpangkat kapten, menulis surat kepada ayahnya pada tanggal 24 Juli untuk mengatakan bahwa ia telah mendaftarkan diri pada suatu posisi di pasukan baru itu. “Aku senang kamu telah melamar — karena (kalau tidak) aku akan melamarkannya untukmu,” balas laksamana kepada putranya. Pada hari yang sama, Keyes muda menulis kepada pacarnya, “Saya (serasa ada) di puncak dunia, karena saya baru saja mendapatkan pekerjaan yang paling hebat, [dengan] peluang tak terbatas untuk masa depan.” Pelatihan satuan Komando sangatlah berat. Banyak sukarelawan, perwira dan prajurit berpangkat lainnya yang tidak bisa menyelesaikan pelatihan dikembalikan ke unit tempat mereka berasal. Geoffrey Keyes menjadi salah satu korban pelatihan Komando. Dia gagal saat ikut march 100 mil dengan membawa perlengkapan penuh tetapi terselamatkan dari eliminasi karena posisi sosialnya. Meski demikian Keyes muda mengikuti pelatihan komando dengan sungguh-sungguh dan menjadi ahli dalam keterampilan lapangan, infiltrasi di belakang garis musuh, pertempuran jalanan, pembunuhan senyap, navigasi dan pemilihan rute, serta dalam pertempuran malam – hal yang revolusioner untuk tentara Angkatan Darat Inggris tahun 1940.

Foto ini menggambarkan pelatihan keras yang dilalui oleh tentara Inggris yang dipilih untuk bertugas dengan unit elit komando. Stamina fisik, kecakapan menggunakan berbagai senjata, dan keterampilan luar biasa dalam pertarungan tangan kosong dikembangkan di lokasi pelatihan di Skotlandia. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

LAYFORCE

Pada tanggal 1 Februari 1941, sebuah unit misi khusus yang terdiri dari 1.500 personel Komando yang baru dilatih, unit ini kemudian disebut sebagai “Layforce” untuk menghormati komandannya Kolonel Robert Laycock. Unit ini lalu dibagi menjadi tiga batalion, untuk kemudian meninggalkan Glasgow menuju ke Timur Tengah. Satu batalion beraksi di Libya, lainnya di Kreta. Kerugian mereka sangat besar, pihak Jerman menangkap hampir 700 orang dari unit ini, sementara 156 lainnya yang berhasil lolos, 23 diantaranya adalah perwira termasuk Laycock. Sementara itu, Unit Geoffrey Keyes, Komando No-11 (Skotlandia) — yang beranggotakan 485 personel mengisi waktu mereka dengan memperkuat pasukan Inggris di Siprus sebelum dikirim pada bulan Juni ke Lebanon Selatan untuk berpartisipasi dalam kampanye melawan pasukan Prancis Vichy. Pada tanggal 9 Juni, selama pertempuran pertama mereka, di Sungai Litani, Geoffrey Keyes — yang saat itu menjadi wakil komandan Komando No-11 — mencatat prestasi ketika pasukannya berhasil merebut benteng musuh. Tetapi aksi komando No. 11 di ini memakan banyak korban yang menakutkan, mereka kehilangan seperempat personelnya, dimana komandannya termasuk di antara lebih dari 40 korban yang terbunuh. Komando satuan ini kemudian segera diserahkan kepada Keyes muda: “Terdapat banyak tanggung jawab yang harus dijalankan sebagai pemimpin batalion di usia saya (yang masih muda),” tulisnya.

Robert Laycock (memegang tongkat komando), pemimpin satuan Komando Layforce yang kontroversial. (Sumber: https://www.wikiwand.com/)
Personel Satuan Komando No-11 (Skotlandia). Sumber: https://www.historynet.com/)

Sisa-sisa Batalion kembali ke Siprus untuk direorganisasi kembali. Keyes mendapat kabar baik bahwa ia telah dipromosikan sementara menjadi Letnan Kolonel — yang termuda di Angkatan Darat Inggris — dan dianugerahi medali Salib Militer untuk keberanian. Tapi ada kabar buruk juga. Karena kerugian besar yang mereka alami, dan karena Jerman telah meningkatkan tekanan terhadap serangan-serangan kecil dari satuan Layforce, Markas Timur Tengah (MEHQ) memerintahkan pembubaran Layforce. Sementara itu pertempuran berkecamuk di Gurun Barat ketika Tentara Kedelapan Inggris berusaha mendorong Rommel keluar dari Afrika Utara, Satuan Komando No. 11 menghabiskan musim panas tahun 1941 dengan menjalankan tugas membongkar muatan kapal-kapal di pelabuhan. “Kita akan melalui masa-masa ini dengan damai hingga nantinya akan terlupakan ketika kami meninggalkan tempat ini,” tulis Keyes dalam suratnya ke rumah. “Tidak ada yang menginginkan kita di sini, dan kita tidak mendapatkan apa-apa.” Dia menambahkan permohonan kepada ayahnya: “Lakukan apa yang kau bisa lakukan untuk kami, Pop.” tulisnya. Admiral Keyes kemudian berusaha memperbaiki keadaan. Dia berhasil menunda pembubaran satuan ini dan segera batalion putranya pada awal Agustus dipindahkan ke Mesir untuk menunggu penugasan kembali.

IDE MENANGKAP ROMMEL

Keyes muda sangat gembira ketika pangkat kolonelnya kemudian menjadi permanen pada bulan berikutnya. Sementara Markas Besarnya ragu tentang masa depan unitnya, Keyes menghabiskan waktunya di Kairo dengan bersenang-senang, ia menulis ke rumahnya sebagai berikut, “Kami terus menikmati pesta-pesta yang menyenangkan. Akhir pekan lalu kami mandi sepanjang hari dan menari sepanjang malam. ” Ketika sedang berkeliaran di kantor pusat, perwira muda itu mendapat sedikit informasi menarik dari seorang perwira staf, bahwa Jenderal Rommel telah terlihat di Beda Littoria, sebuah kota kecil yang terletak di Pegunungan Hijau subur di timur laut Libya, dan telah mendirikan kantor pusat di sana bersama Korps XXI Angkatan Darat Italia. Informasi ini lalu membuat Keyes berpikir. Saat memeriksa peta, dia melihat bahwa Beda, meskipun berada jauh 250 mil di belakang garis depan di Gurun Barat, terletak hanya 18 mil dari pantai Laut Mediterania — sebuah jarak yang mudah dijangkau oleh unit penyerbu yang didaratkan dari kapal selam untuk ditugaskan menangkap si “Rubah Gurun Pasir (julukan Rommel). Pada tanggal 4 Oktober 1941, ia mendiskusikan idenya dengan Kapten R. T. S. “Tommy” Macpherson, pejabat eksekutif Komando No. 11. Macpherson kemudian menulis dalam buku hariannya — dengan tinta merah— “Geoffrey menemukan ide bagus. Dia berkata, ‘Jika kita mendapatkan pekerjaan ini, orang-orang akan mengingat kita.’ ” Sementara itu, Letnan Kolonel Geoffrey Keyes, menganggap misi itu menjadi misi “yang akan menggemparkan seluruh dunia.” Namun misi itu kemudian ternyata akan berjalan tidak seperti yang dibayangkan Keyes.

Peta Lokasi Penyerbuan untuk menculik Jenderal Rommel. (Sumber: https://www.combinedops.com/)

Sebagai sebuah operasi ofensif, rencana yang diajukan Keyes terhitung sederhana namun memiliki potensi berdampak besar. Sebuah Pasukan khusus komando Inggris akan berlayar ke barat naik dua kapal selam dari Alexandria, Mesir, ke pantai utara Libya, mendarat di malam hari dengan rakit karet, dan mendayung ke pantai yang sepi di belakang garis pertahanan Jerman. Dari sana, mereka jaraknya hanya 18 mil ke target mereka, yakni markas tentara Jerman, Panzergruppe Afrika. Pasukan kecil ini lalu akan menyusup di sekitar para penjaga Jerman, memasuki bangunan secara sembunyi-sembunyi, dan menangkap atau membunuh orang paling penting di villa itu, yakni: komandan panzergruppe, Letnan Jenderal Erwin Rommel — si “Gurun Rubah” itu sendiri. Ketika misi selesai, pasukan komando akan kembali ke kapal selam, lebih diharapkan dengan menawan Rommel hidup-hidup, dan berlayar dengan penuh kemenangan kembali ke Mesir. Untuk membuat ide itu lebih bisa diterima pejabat MEHQ, Keyes menguraikan tiga tujuan lain, yang dirancang untuk melumpuhkan fasilitas komunikasi Italia di sekitar tempat itu. Pada awal Oktober, Keyes pergi menemui Letnan Jenderal Sir Alan Cunningham, komandan Pasukan Persemakmuran di Gurun Barat, di markas besarnya dekat Alexandria. Ayah Keyes adalah teman pribadi saudara laki-laki Cunningham, Sir Andrew, komandan Armada Mediterania, dan Winston Churchill, sehingga sang jenderal yang sangat sibuk itu mau meluangkan waktu untuk bertemu komandan pasukan Komando ke-11, suatu hal yang tidak biasa. Proposal itu beredar di eselon tinggi selama beberapa minggu. Pemikiran yang kemudian dipertimbangkan adalah bahwa serangan itu akan sesuai dengan Operasi Crusader, sebuah serangan Inggris yang direncanakan untuk meringankan beban garnisun yang terkepung di Tobruk, yang rencananya akan dimulai pada tanggal 18 November. Jika rencana Keyes berhasil, hilangnya Rommel, seorang ahli taktik yang brilian, akan memperlambat respons Jerman terhadap serangan itu.

MISI PENGINTAIAN

Kapten John “Jock” Haselden adalah satu dari selusin agen SOE (Special Operations Executive), Dinas Rahasia Inggris yang beroperasi di belakang garis musuh di Libya. Agen-agen ini biasa dibawa dan dijemput keluar dari Libya oleh satuan LRDG (Long Range Desert Group). Haselden, lahir dan besar di Mesir dari seorang ayah Inggris dan ibu Mesir dan bersekolah di Inggris, ia fasih berbicara dalam sejumlah dialek Arab dan dalam bahasa Prancis serta Italia. Dari penampilannya, dia adalah orang khas Inggris, tetapi dengan ketampanannya dan matanya yang gelap yang diwarisinya dari ibunya serta kefasihannya dalam bahasa Arab, dia dapat dengan mudah membaur sebagai orang Arab. Haselden adalah seorang agen yang luar biasa, dan banyak kisah tentang dirinya yang beredar. Seseorang pernah mengingat “bagaimana Haselden bisa berkeliaran ke kota-kota yang diduduki Italia dengan menyamar sebagai perwira Italia; serta bagaimana ia berpakaian seperti seorang Badui dan dengan membawa radio di bawah selimut, duduk di tepi jalan menghitung kendaraan konvoi Italia; lalu bagaimana ia pernah menggembakan kawanan domba di atas landasan udara pihak Axis di bawah pengawasan penjaga Italia untuk memperjelas pengamatannya.”

Kapten John “Jock” Haselden, yang melakukan pengintaian ke lokasi yang diperkirakan sebagai markas Rommel. (Sumber: https://www.tracesofwar.com/)

Pada pertengahan bulan Oktober, Haselden yang dikirimkan menyusup dengan diterjunkan menggunakan parasut dan seorang NCO Arab dari Pasukan Arab Libya telah berada di perbukitan dan pegunungan Jebel al-Akhdar, wilayah Cyrenaica. Salah satu agennya di kota, mengkonfirmasi laporan intelijen sebelumnya bahwa Rommel telah menggunakan markas besar di kota Sidi Rafa, yang sekarang dinamai “Beda Littoria” oleh orang Italia, dan menggunakan vila setengah mil jauhnya sebagai rumah, yang merupakan bekas kediaman prefek setempat. Orang Italia menyebutnya “Prefettura.” Ketika Haselden masih berada di Jebel al-Akhdar, Tommy Macpherson, dari kelompok pengintai lainnya, pergi dengan kapal selam untuk meninjau kembali sebuah pantai di Cyrenaica, sebagai lokasi pendaratan pasukan komando yang akan berlangsung dalam waktu tiga minggu setelahnya dan untuk memeriksa rute malam menaiki lereng Jebel, kira-kira satu mil dari pantai. Dua perwira dan seorang NCO dari SBS menemaninya. Beberapa malam kemudian, kapal selam itu muncul tiga mil dari Ras Hilal, salah satu dari dua situs yang ditunjuk sebagai lokasi untuk pendaratan Keyes. Tim masuk daratan dengan menaiki dua kano dan berhasil menemukan rute mendaki tebing Jebel, tetapi ketika mereka kembali ke titik pertemuan, kapal selam itu tidak muncul untuk menjemput mereka. Kapal itu tidak muncul malam berikutnya, dan malam berikutnya lagi. Kesalahan navigasi telah menempatkan kapal selam di tempat yang salah. Tim kemudian menyembunyikan kano mereka di dekat pantai dan mulai berjalan jauh ke Tobruk. Dekat dengan Derna, Tim pengintaian Inggris ini ditangkap oleh patroli Italia. Patroli Italia lainnya menemukan sampan mereka di Ras Hilal. Meskipun mereka tidak membuka suara saat diinterogasi, jelas bahwa mereka telah melakukan pengintaian untuk beberapa operasi militer Inggris di masa depan. Pendaratan Keyes dan pasukannya di Ras Hilal sekarang menjadi terganggu oleh kewaspadaan pihak musuh.

Sebuah bangunan besar yang dianggap sebagai villa tempat tinggal Rommel (sekitar tahun 1943). Bangunan ini merupakan bagian dari kompleks militer di kota Beda Littoria. (Sumber: https://www.historynet.com/)

Sementara itu, Letnan Kolonel Keyes dan anggota Komando No. 11 memulai program pelatihan intensif untuk serangan itu, yang pada saat itu dijuluki “Operasi Flipper.” Lewat praktik pendaratan dari kapal selam yang dilakukan di sepanjang pantai Mesir menunjukkan bahwa pendaratan akan memakan waktu tidak lebih dari satu jam per kapal selam. Pada bulan November, pasukan yang terlibat dalam Operasi Flipper, yang terdiri dari 56 orang telah siap untuk pergi. Kapten Robin Campbell, 29, putra seorang baronet dan mantan jurnalis, telah berada di salah satu unit yang dibubarkan dan kemudian ditarik masuk kembali karena kelancarannya dalam berbahasa Jerman; dia akan menjadi komandan kedua satuan penyerbu, setelah Keyes sendiri. Tepat sebelum berangkat, Keyes menulis ke rumahnya: “Jika hal ini berhasil, apakah saya akan ditangkap atau tidak, operasi ini akan membantu Operasi (Crusader). Saya yakin saya akan baik-baik saja. Ini kesempatan yang sangat besar. ”

BOB LAYCOCK YANG DIBENCI

Invasi Inggris ke Libya, yakni “Operasi Crusader”, dijadwalkan akan dimulai pada tanggal 18 November 1941. Jenderal Cunningham berencana untuk menarik Rommel ke dalam perangkap di mana pasukannya akan dihancurkan oleh pasukan tank Inggris yang lebih unggul jumlahnya. Untuk mendukung hal ini, ia telah memasukkan dalam rencana pertempurannya dua operasi pasukan komando. Salah satunya akan dilakukan oleh 60 personel komando unit parasut pimpinan David Stirling (cikal bakal SAS), yang akan diterjunkan pada malam tanggal 17 di dekat lima lapangan udara musuh di Cyrenaica dengan misi menghancurkan sebanyak mungkin pesawat musuh dengan bom pembakar. Penerjunan itu dilakukan dalam kondisi angin kencang dan petir di mana banyak kontainer yang membawa peralatan, bahan peledak, detonator, dan sekering dibuat terserak diatas padang pasir. Banyak dari pasukan komando mengalami patah tulang dan laserasi setelah mendarat, yang lain dibawa pergi oleh parasut mereka sehingga berpencar, sementara satu orang tidak pernah terlihat lagi. Operasi ini gagal. Operasi lain  yang diluncurkan adalah operasi amfibi Keyes, diberi kode “Operasi Flipper” yang waktunya bertepatan dengan penerjunan udara pimpinan Stirling. Operasi Flipper bertujuan untuk menghancurkan kantor pusat dan komunikasi Jerman di Beda Littoria dan, jika mungkin, menculik Rommel.

Operasi Flipper untuk menculik Rommel dilaksanakan bersamaan dengan operasi yang akan dilakukan oleh 60 personel komando unit parasut pimpinan David Stirling (kanan). Sumber: https://www.britannica.com/)
Keterlibatan Robert Laycock dalam Operasi Flipper dicurigai beberapa pihak sebagai upaya untuk membersihkan namanya yang tercoreng akibat aksinya meninggalkan anak buahnya dalam pertempuran di Pulau Kreta. (Sumber: Pinterest)

Sementara Keyes senang dengan kesempatannya memimpin Operasi Flipper, komandannya, Brigadir Bob Laycock, tidak antusias. Dia mencatat bahwa jika pihak Komando Keyes berhasil menangkap Rommel, pihak Jerman pasti akan mengejar dan mereka hampir pasti satuan Komando ini tidak memiliki peluang untuk bisa dievakuasi. Serangan itu, bahkan jikapun berhasil, akan mengorbankan banyak nyawa mereka yang ambil bagian di dalamnya. Meski demikian, akhirnya Laycock memutuskan untuk menemani operasi sebagai pengamat dan untuk menjaga pantai sementara Keyes memimpin serangan. Dengan catatan buruk untuk tindakannya di Kreta enam bulan sebelumnya dimana ia kedapatan meninggalkan anak buahnya dibawah tekanan Jerman, Laycock mungkin berharap bahwa keterlibatannya dalam operasi akan membantu menyelamatkan reputasinya. Sebelum berangkat ke Jebel al-Akhdar untuk melakukan pengintaian, Tommy Macpherson mengatakan bahwa, “Laycock di mata kami adalah orang yang lebih mementingkan kariernya sendiri; dia adalah seorang penipu di level tertinggi. Baginya, serangan untuk menculik Rommel kesempatan emas tanpa merugikan dirinya. Jika misi itu berhasil maka dengan mengikutinya, maka ia akan mendapatkan catatan bagus, dan jika tidak, maka dengan tetap tinggal di pantai dia hampir pasti berada dalam posisi paling mudah untuk menyelamatkan diri. ” Ketika kapal selam kembali ke Alexandria tanpa Tommy Macpherson dan orang-orang SBS, diasumsikan bahwa mereka telah ditangkap atau mati, akibatnya lokasi pendaratan di Ras Hilal tidak dapat digunakan lagi. Keyes kemudian memutuskan bahwa pendaratan akan dilakukan pada lokasi pilihan keduanya, Khashm al-Kalb. Ketika Laycock menyatakan keberatannya, Keyes memintanya untuk tidak mengulangi keberatannya di depan Jenderal Cunningham karena ia mungkin akan membatalkan operasi sama sekali.

CULIK ATAU BUNUH?

Pada tanggal 7 November, Jock Haselden dan tiga agen SOE lainnya, semuanya berpakaian Arab, dan dua orang Arab Senussi dari Angkatan Arab Libya dibawa oleh patroli LRDG ke Jebel al-Akhdar. Kendaraan mereka disembunyikan sekitar 20 mil dari Mekili, dan Haselden pergi sendiri ke Slonta, di mana ia bertemu dengan agennya. Dari sana, dengan panduan yang disediakan oleh agennya, dia berangkat ke Khashm al-Kalb, pantai tempat Keyes dan pasukan komandonya akan melakukan pendaratan. Pada sore hari 10 November, dua kapal selam, HMS Torbay dan HMS Talisman, meninggalkan pelabuhan Alexandria dan menuju pantai Cyrenaica. Di antara mereka ada Keyes dan Laycock dan 57 pasukan komando dan delapan personel SBS. Dengan senjata, peralatan, bahan peledak, dan perbekalan mereka serta 28 perahu karet dan empat kano SBS yang disebut folbot. Dengan muatan semacam ini, maka hanya ada sedikit ruang yang tersisa didalam kapal selam. Pada 12 November, Keyes memanggil pasukan komandonya di Torbay untuk berkumpul. Sementara Laycock ada di Talisman. Para personel Komando sudah tahu bahwa operasi itu dimaksudkan untuk menimbulkan kerusakan maksimum pada markas musuh, instalasi, dan komunikasi dan bahwa untuk melaksanakan empat tugas utama itu, mereka harus dipecah menjadi empat detasemen.

HMS Torbay yang mengangkut pasukan Komando dalam Operasi Flipper. (Sumber: https://military.wikia.org/)

Detasemen 4, dipimpin oleh Jock Haselden, yang akan bertemu dengan pasukan Komando yang mendarat dari kapal selam akan bergabung kembali dengan agen-agen SOE dan NCO Angkatan Arab Libya, akan menyabot komunikasi di markas besar Divisi Trieste Italia dekat Slonta. Detasemen pasukan komando 3 dan 12 di bawah pimpinan Letnan David Sutherland, akan menyerang markas besar Italia di Cyrene dan menghancurkan tiang kabel komunikasi di persimpangan Cyrene. Detasemen 2, yang terdiri dari 11 prajurit komando pimpinan Letnan Chevalier, akan menyabot stasiun nirkabel dan Pusat Intelijen Italia di Apollonia. Sementara itu Detasemen 1, termasuk dua perwira dan 22 pasukan komando yang dipimpin oleh Keyes, akan berjalan dan mendaki 18 mil di atas lereng curam ke Beda Littoria dan menyerang markas Korps Afrika. Di kapal selam, Keyes sekarang mengungkapkan bagian yang tidak diketahuinya dari misi mereka, yakni apakah mereka akan menangkap atau membunuh Rommel. Dengan terdiam, dia menambahkan, “Jika dia tidak banyak bicara, kita akan membawanya. Jika dia tidak melakukannya, kita akan membunuhnya. ” Keyes terlalu optimis untuk berpikir bahwa perwira tinggi seperti Rommel bisa ditangkap dan dibawa berjalan sejauh 18 mil melintasi medan berat untuk kemudian  dinaikkan ke kapal selam. Dia seharusnya dibunuh saja. Anak buahnya dengan cepat menyadari hal ini juga, dan beberapa dari mereka menggerutu pelan. Misi ini lebih mirip misi bunuh diri. Keyes sendiri tidak berharap untuk bisa kembali dari operasi ini hidup-hidup.

Stasiun Radio militer Italia di Appollonia yang menjadi salah satu target tambahan dalam Operasi Flipper. (Sumber: https://www.combinedops.com/)

OPERASI FLIPPER

Malam 13 November 1941, dua kapal selam Angkatan Laut Kerajaan, HMS Torbay dan HMS Talisman yang masing-masing berbobot 1.575 ton, memonitor dengan periskop mereka di hamparan pantai Libya 250 mil di belakang garis Jerman. Ketika mereka mendeteksi tidak ada gerakan, kapten kapal selam Torbay, Lieutenant Commander Anthony C. C. Miers, mendesak Kolonel Keyes untuk mengambil keuntungan dari cuaca yang baik dan mendarat dengan segera — satu hari lebih awal dari yang dijadwalkan. Tetapi pemimpin Komando itu mengatakan tidak: dia ingin menunggu sampai tanggal 14, ketika Kapten Haselden akan memeriksa kondisi pantai dan memberi tanda “Semua Aman.” Maka kelompok Komando ini memutuskan untuk menunggu 24 jam di dasar Laut Mediterania. Setelah makan siang pada tanggal 14, pasukan komando membersihkan dan meminyaki senjata mereka —  senapan Lee Enfield kaliber .303, senjata Bren, senapan mesin ringan Thompson, pistol, dan belati — dan memeriksa peralatan dan amunisi mereka. Kemudian mereka beristirahat, sementara para pelaut menumpuk kaleng-kaleng gelignit, ransum, dan air di bawah lubang meriam menara. Tetapi ketika mereka muncul ke permukaan di senja hari pada tanggal 14, keadaan laut telah berubah secara dramatis menjadi lebih buruk. Dengan adanya kabut angin, kru Miers hampir tidak bisa melihat sinyal-sinyal pengenalan yang muncul dari pantai. Sementara Talisman menunggu di lepas pantai, Torbay bergerak maju beberapa ratus meter lebih dekat. Sedikit setelah jam 7 malam, 28 anggota Komando — Keyes dan Campbell ada di antara mereka — mengerumuni geladak kapal dan mulai mengembangkan rakit karet berkapasitaa dua orang milik mereka. Tidak lama setelah rakit dimasukkan ke dalam air, mereka mulai hanyut dalam arus yang kuat, memaksa mereka melawan arus dalam perjuangan yang melelahkan dan memakan waktu hingga enam jam. Pada tengah malam lewat setengah jam, semua  anggota Komando yang ada di kapal selam Torbay telah aman mendarat, sekarang giliran Talisman.

Penyusupan dengan menggunakan kapal selam bukanlah hal yang baru dalam Perang Dunia II, beberapa operasi komando dikirimkan dengan cara ini. (Sumber: https://www.telegraph.co.uk/)

Jika diperlukan enam jam lagi untuk bisa meluncurkan tim kedua, rakit terakhir tidak akan mencapai pantai sampai setelah matahari terbit, membuat kapal selam kedua terlihat dan rentan terhadap pengintaian musuh. Namun, Laycock, di atas Talisman, memutuskan untuk melanjutkan dan, pada pukul 1:40 pagi pada 15 November, operasi pendaratan dimulai. Sejak awal, segalanya tidak berjalan dengan baik. Ombak ganas menghantam tujuh rakit dan menghempaskan 11 pria ke dalam laut, salah satunya tenggelam. Senjata, ransum, bahkan sepatu, menghilang dalam arus. Ketika fajar mendekat, mereka menghentikan pendaratan; hanya delapan orang, termasuk Laycock, yang berhasil mencapai daratan. 20 personel yang tersisa masih diatas kapal, termasuk dua pemandu Arab dari suku Senussi yang pro-Inggris. Hal ini jelas mengurangi kekuatan pasukan Keyes hingga sepertiga. Sementara pendaratan pasukan komando berjalan, Haselden pergi untuk bergabung kembali dengan kelompoknya dan menyabot komunikasi di dekat Slonta. Operasi ini dilakukan dengan sukses, dan kelompoknya dijemput oleh LRDG. Kemudian pagi itu, Keyes dan Laycock mengatur ulang rencana misi mereka dari sebuah rumah yang hancur. Mereka mengurangi tujuan misi dari empat menjadi dua. Keyes sendiri memimpin detasemen pertama yang akan melakukan serangan ke markas Rommel; sementara dia memberi tujuh orang personel detasemen ke Letnan Roy Cooke yang mendapat tugas untuk menyerang fasilitas radio Angkatan Darat Italia di Cyrene, delapan mil ke timur. Laycock akan tetap di dekat pantai dengan tujuh orang untuk menjaga perbekalan mereka.

Tampilan dan perlengkapan pasukan Komando Inggris dalam Perang Dunia II. (Sumber: https://www.historyanswers.co.uk/)

Tepat sebelum matahari terbenam pada tanggal 15, Keyes mulai memimpin Komando No. 11, sekarang hanya berkekuatan 25 orang, melakukan perjalanan 13 mil menuju Beda Littoria. Untuk alasan penyamaran gerakan, mereka berencana melakukan perjalanan sebagian besar di malam hari, dengan sampai di Prefettura diperkirakan hanya setelah tengah malam pada tanggal 18. Tetapi segera mereka menemukan lereng curam berbatu, yang tingginya 450 kaki di atas pantai dan memperlambat gerakan mereka. Pada pukul 2 pagi keesokan paginya, sang kolonel menghentikan pendakian untuk mengistirahatkan anak buahnya. Tak lama setelah siang hari, mereka bangun dan berteriak pada sekelompok orang Arab bersenjata yang telah mengepung bivak mereka. Dengan bantuan penerjemahnya, Keyes berhasil menenangkan orang-orang Arab itu dan bahkan mendapat janji bantuan dari kepala suku mereka yang bersahabat dengan Inggris. Hujan mulai turun pagi-pagi dan semakin meningkat sepanjang sore. Ketika senja turun pada tanggal 16, anggota-anggota Commando itu berangkat melalui rawa untuk tahap kedua dari perjalan mereka. Beberapa jam kemudian, pemandu lokal mereka membawa mereka ke sebuah gua besar yang digunakan terutama oleh para gembala kambing, sekitar empat mil dari tujuan akhir mereka. Begitu timnya sudah siap, Kolonel Keyes mencoba melakukan pengintaian terhadap Beda. Tidak dapat masuk sendiri ke kota, karena takut dikenali, ia mengirim seorang anak lelaki Libya untuk memeriksa daerah itu. Dari deskripsi pemuda itu, Keyes memetakan bangunan yang akan mereka serang malam berikutnya.

Tentara Italia di Afrika Utara. Dalam menuju Villa yang diperkirakan menjadi markas Rommel, satuan Komando Inggris harus menghindari kontak dari pasukan musuh, seperti patroli dari tentara Italia. (Sumber: Pinterest)

Cuaca memburuk pada tanggal 17. “Awan tampak terbuka, dan hujan turun,” kenang Kapten Campbell. “Daerah tempat kami harus berjalan berubah menjadi lumpur di depan mata kami. Semangat kami mulai turun — termasuk saya. ” Malam itu, anggota Komando menghitamkan wajah mereka dengan gabus yang dibakar dan, pada pukul 6 petang, mereka berangkat menuju perjalanan terakhir mereka menuju sasaran. Malam itu bahkan lebih berat dari malam sebelumnya. “Perjalanan menjadi sangat buruk sehingga kami terpaksa harus berjalan dalam satu file untuk menghindari saling menjatuhkan saat kami terpeleset dan tersandung lumpur,” ingat Campbell. “Sekali-sekali seorang prajurit akan jatuh, dan [kita] harus berhenti menunggu dia bangkit.” Setelah melewati beberapa tempat curam lainnya, Keyes meyakinkan timnya bahwa mereka tinggal beberapa ratus meter di belakang Prefettura. Ketika mereka bergerak maju dengan hati-hati, seorang anggota komando menyenggol detektor kaleng, yang kemudian menyebabkan seekor anjing yang cemas di rumah terdekat mulai menggonggong. Pemiliknya berteriak pada anjing itu, sambil membawa seorang perwira Arab dan Italia keluar untuk melihat apa yang menjadi penyebab keributan itu. Ketika mereka mendekat, Campbell menggunakan keterampilan berbahasanya untuk mencegah mereka agar tidak mendekat. Dia memberi tahu para perwira itu bahwa mereka adalah patroli Jerman yang sedang latihan malam dan memerintahkan: “Pergi dan diamkan anjingmu!” Orang Italia itu mengangkat bahu, dan ketika dia berbalik untuk pergi, ia mengucapkan selamat malam dalam bahasa Jerman “Gute Nacht”.

PESAN YANG TERLAMBAT

Tengah malam pada 17 November, sebuah pesan kode dari London diterima di Kairo yang memberi tahu bahwa Jenderal Rommel sedang dalam perjalanan kembali ke Libya dari Roma, tempat dia menghabiskan tiga minggu terakhir. Bahkan dari info yang didapat, jikapun Rommel telah kembali ke Libya lebih awal dari itu, dia tidak akan berada di Beda Littoria. Markas besar yang telah akan diserang Keyes sebenarnya adalah milik Kolonel Schleusener, komandan dari Panzergruppe Afrika. Rommel rupanya mengunjungi situs tersebut sekitar bulan September, tetapi kantor pusat operasionalnya sendiri ada di dekat dengan Tobruk. Kolonel Schleusener pada saat penyerangan Keyes sedang ada di Rumah sakit. Kolonel Schleusener bertubuh hampir mirip Rommel dan mengenakan seragam yang sama. Karena inilah kemungkinan mata-mata Haselden salah mengkonfirmasi. Rommel sebenarnya baru kembali ke markas besarnya di dekat Tobruk pada tanggal 18. SOE kemudian mengetahui melalui mesin Ultra bahwa pada tanggal 2 November Rommel telah pergi ke Roma, hingga tanggal 14 November, persis ketika pasukan komando Keyes terakhir kontak dengan Kairo, setelah itu tidak ada lagi kontak antara keduanya. Dengan demikian Informasi ini tidak diteruskan ke Keyes.

Rommel (kanan) pada saat Operasi Flipper dilaksanakan tidak ada di lokasi penyerbuan. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

PENYERANGAN

Tepat sebelum tengah malam, kelompok Komando ini mencapai bagian belakang villa bersemen putih bertingkat tiga milik Rommel, yang terletak di hutan pohon cedar. Hujan masih deras. Keyes mengatur sebuah perimeter penjaga dan membawa sekelompok pria lainnya ke belakang Prefettura. Dia mengguncang pintu Villa, yang didapatinya terkunci. Kemudian memeriksa jendela. Mereka juga tertutup. Yang tersisa hanya pintu depan. Tujuh anak tangga marmer mengarah ke pintu ganda kayu yang berat. Alih-alih menyerbu masuk pintu, Keyes meminta Campbell untuk menggedor pintu dengan keras. Berpura-pura menjadi seorang kapten Jerman, ia mendesak untuk bisa diizinkan masuk. Seorang sersan Jerman bertubuh besar yang hanya dipersenjatai dengan bayonet membuka pintu, dan para pasukan Komando itu bergegas masuk sebelum ia bisa bereaksi. Mereka berdiri di serambi berlantai batu dengan dua pintu di sebelah kiri dan sebuah tangga serta pintu lain di sebelah kanan. Keyes mengarahkan Colt-nya secara otomatis ke pria itu, tetapi sebelum dia bisa menarik pelatuknya, targetnya merenggut pistol, lalu kemudian tubuh Keyes sendiri. Saat keduanya bertarung, Campbell dan Sersan Jack Terry berebut untuk melepaskan tembakan. Akhirnya, Campbell menembak tiga kali dengan revolvernya. Prajurit Jerman itu terjatuh ke tanah. Campbell ingat bahwa Keyes sempat mengatakan bahwa lengannya seperti mati rasa. Ketika orang Jerman lain muncul di puncak tangga, Terry berbalik, melepaskan tembakan, dan prajurit musuh mundur dari pandangan. Sebuah pintu di lantai dasar terbuka dan Terry menembak lagi, membunuh satu orang Jerman dan melukai yang kedua. Campbell melemparkan granat ke dalam ruangan, dan sersan itu melepaskan beberapa tembakan panjang lainnya. Saat itulah, menurut Campbell, sebuah peluru yang ditembakkan dari dalam ruangan mengenai Keyes. Dia jatuh ke lantai, terluka parah.

Lieutenant-Colonel Geoffrey Keyes bergulat dengan penjaga Jerman saat menyerbu kedalam Villa. (Sumber: https://www.historynet.com/)

Beberapa detik kemudian, granat meledak. Keheningan total terjadi. Dia (Campbell) dan Terry menarik Keyes keluar. “Dia pasti meninggal saat kita menggendongnya,” Campbell kemudian mengenang, “karena ketika aku merasakan jantungnya, jantung itu telah berhenti berdetak.” Selama beberapa dekade setelah itu versi ini dianggap sebagai kisah resmi. Tetapi dalam bukunya yang diteliti dengan seksama pada tahun 2004, yang berjudul “Get Rommel”, sejarawan militer Michael Asher memberikan argumen kuat bahwa ketika Campbell menembaki penjaga, salah satu peluru menghantam kolonel-nya — menunjukkan bahwa Keyes sebenarnya adalah korban tembakan rekannya sendiri. Hari ini teori ini diterima secara luas. Insiden di dalam Prefettura itu terjadi hanya dalam dua atau tiga menit saja. Pada saat itu seluruh telah kompleks dipenuhi dengan tentara Jerman dan Italia yang bingung, dan para anggota Komando menembaki apa pun yang bergerak, menewaskan dua orang Jerman lagi. Dalam kejadian salah tembak lainnya, sebuah peluru Inggris menghantam tulang kering Campbell, yang membuatnya tidak bisa bertempur lagi. Dia memberikan komando kepada Terry, yang baru berusia 19 tahun, dan memerintahkannya untuk mengumpulkan orang-orang yang tersisa dan meninggalkan daerah itu. Serangan penyergapan terhadap Rommel sedari awal telah gagal sejak penjaga Jerman pertama kali membuka pintu, pemikiran untuk bisa menangkap atau membunuh Desert Fox saat itu kemudian segera hilang.

Lokasi dimana Keyes tertembak. (Sumber: Western Desert Battlefield Tours/https://www.combinedops.com/)

Sebelas orang berhasil melihat sinyal yang diberikan Terry untuk berkumpul kembali; sementara sisanya ditangkap musuh. Sersan itu kemudian memimpin pasukan kecilnya kembali menuruni lereng dan menuju pantai, tempat Torbay menunggu mereka kembali. Dengan musuh yang mengejar mereka, mereka bergegas, tetapi hujan yang tak henti-hentinya dan jarak pandang yang hampir nol memperlambat kemajuan mereka. Sekitar satu mil dari Beda Littoria, Terry, yang memimpin, tiba-tiba terperosok di tebing, namun ia berhasil meraih sebuah cabang pohon saat jatuh dan, dengan sedikit usaha, rekan-rekannya berhasil menariknya kembali. Mereka menghabiskan malam yang menyedihkan itu di semak-semak menunggu fajar. Sementara itu 10 mil dari Beda Littoria, di sebuah persimpangan satu mil dari Cyrene, Letnan Cooke dan pasukannya mempelajari tiang kabel yang akan mereka hancurkan. Terdapat empat tiang kayu besar yang mendukung berbagai terminal dan kabel dengan garis-garis melaju ke empat arah ke Derna, Slonta , Bardia, dan Benghazi. Beberapa pasukan komando memanjat tiang dan memotong kabel sehingga ketika mereka menghancurkan tiang, struktur akan jatuh, tetapi ketika mereka datang untuk meledakkan tiang, mereka menemukan bahwa sekering bahan peledak yang mereka bawa basah dan menjadi tidak berguna. Akhirnya, dengan menggunakan granat sebagai pemicu, mereka berhasil membuat beberapa ledakan, tetapi tidak cukup besar untuk bisa melumpuhkan situs itu secara permanen. Hujan reda di pagi hari, dan para Commando terus berjalan, dan mencapai posisi Kolonel Laycock di sore hari tanggal 18 November. Pertemuan mereka dengan kapal selam Torbay direncanakan dilakukan malam itu, tetapi laut yang bergolak mencegah para prajurit untuk bisa meluncurkan rakit mereka. Hari berikutnya pasukan Italia dan Arab pro-Axis menyerang para Komando, yang sebagian besar bersembunyi di sebuah gua dekat pantai. Dua tentara Italia memasuki gua. Pasukan komando menembak salah satu dari mereka tetapi yang lain, terluka, berhasil memberi tahu rekan-rekan lainnya. Granat -granat kemudian dilemparkan ke dalam gua, dan pasukan komando memutuskan untuk keluar dari gua itu. Mereka berlari keluar dari gua dan menemukan diri mereka berhadapan dengan dua senapan mesin berat. Karena merasa tidak ada harapan lagi, mereka mengangkat tangan dan memutuskan menyerah. Mereka kemudian dibawa sebagai tahanan ke Benghazi. Hanya Laycock, Terry, dan seorang kopral — John Brittlebank — yang berhasil lolos. Mereka terpaksa bergerak melintasi padang pasir selama 37 hari , dan akhirnya berhasil mencapai garis pertahanan Inggris di Mesir pada Natal tahun 1941. Kapten Haselden juga berhasil lolos dan bisa menemui satuan LDRG yang menjemputnya. Laycock diterbangkan kembali ke Inggris untuk mengambil alih komando Special Service Brigade. Laycock nantinya akan mendapatkan medali Distinguished Service Order dan memimpin satuan Komando dalam invasi di Salerno, Italia. Sementara itu Haselden dipromosikan sebagai Letnan Kolonel, akan terbunuh dalam sebuah penyerangan di Tobruk pada bulan September 1942.

AFTERMATH

Pada tanggal 19 November, orang-orang Jerman atas perintah Rommel menguburkan mayat keempat rekan-rekan mereka, dan Letnan Kolonel Geoffrey C. T. Keyes, dengan penghormatan militer penuh di pemakaman gereja setempat, upacara pemakaman dipimpin oleh seorang uskup Katolik yang berasal dari Angkatan Darat Italia. Rommel juga menginstruksikan untuk mengambil foto-foto dalam upacara pemakaman Keyes untuk dikirim ke orang tuanya, sebuah tindakan ksatria yang meningkatkan rasa hormat Inggris kepadanya. Pada hari yang sama, mereka membawa Kapten Campbell ke rumah sakit milik Jerman, di mana kakinya yang hancur harus diamputasi. Dia dibebaskan pada tahun 1944 sebagai bagian dari pertukaran tahanan. Tommy Macpherson berulang kali mencoba melarikan diri dari kamp penjara Jerman sebelum akhirnya berhasil, pada tahun 1944. Ia berhasil kembali ke Inggris dan kembali ke medan pertempuran, dan dianugerahi gelar ksatria. Secara taktik dan strategis, Operasi Flipper benar-benar gagal. Gagal menangkap Rommel atau mengganggu komunikasi Axis sesaat sebelum Operasi Crusader. Penyebab utama kegagalan ini ada pada intelijen Inggris, yang salah menyediakan informasi. Ketika Rommel mendengar tentang penyerbuan di markas besar di Beda Littoria, ia sangat heran, dan menggumamkan kata-kata: “Bagaimana mungkin orang Inggris bisa membayangkan bahwa saya akan memiliki markas operasional 250 mil di belakang garis depan?” Meski demikian Rommel mengapresiasi operasi yang gagal ini sebagai: “Operasi brilian yang dilaksanakan dengan keberanian besar.”

Makam Geoffrey Keyes. (Sumber: https://www.historynet.com/)
Meski heran dengan kegagalan intelijen Inggris menangkap dirinya, namun Rommel respek atas keberanian Komando Inggris dalam Operasi Flipper. (Sumber: https://nationalinterest.org/)

Jerman awalnya berasumsi bahwa pihak penyerang terjun dengan parasut untuk merampas rencana rahasia pertempuran mereka. Tapi asumsi itu dibantah pada tanggal 31 Desember 1941, ketika Departemen Perang Inggris merilis rincian serangan para komando itu ke surat kabar yang diberitakan di seluruh dunia. Di California, Oakland Tribune mencetak berita di halaman depan pagi itu: “Komando Inggris nyaris menangkap Jendral Rommel saat Serangan di Libya Dimulai.” Peran Geoffrey Keyes disebutkan secara jelas — dia bukan hanya “pemimpin pasukan bunuh diri Inggris,” tetapi juga putra pahlawan Perang Dunia I, Sir Roger Keyes. Berita itu berhasil meningkatkan semangat dan membuat kagum warga Inggris, karena mereka sudah terlalu lama terbiasa mendengar berita-berita yang mengecewakan dari medan perang. Pada Tahun Baru, Kolonel Laycock merekomendasikan nama Geoffrey Keyes untuk mendapatkan medali Victoria Cross, penghargaan tertinggi Inggris untuk keberanian di medan perang. Pada 19 Juni 1942, medali itu secara anumerta diberikan kepada pemimpin Komando muda itu. Kutipan dari penghargaan VC itu berbunyi: “Dengan mengabaikan rasa takutnya yang besar akan bahaya yang ditimbulkannya dan yang dia sadari sepenuhnya, dan dengan kepemimpinannya yang luar biasa dan keberaniannya yang luar biasa, Letnan Kolonel Keyes memberikan contoh pengorbanan diri dan pengabdian tertinggi pada tugas. ” Pada tahun 1945 jasadnya dipindahkan ke Pemakaman Perang Benghazi, tempat peristirahatan terakhir bagi 1.240 tentara dari sembilan negara Sekutu yang bertempur di Libya selama Perang Dunia II. Makamnya terletak hanya beberapa meter dari monumen “Salib Pengorbanan” negara-negara Persemakmuran. Dalam kematiannya, Geoffrey Charles Tasker Keyes — seorang perwira pemuda — secara tragis memenuhi takdirnya untuk mencapai sesuatu “yang akan didengar di seluruh dunia,” dan memungkinkannya mendapatkan posisi terhormar bersama leluhurnya yang termasyhur. ✯

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

The Failed Mission to Take Out Germany’s Desert Fox by Steven Trent Smith; December 2019

Raid on Rommel by John Brown

How a British Special Operations Raid Intended to Kill or Capture Erwin Rommel Went Wrong by Michael D Hull; 4 November 2018

https://nationalinterest.org/blog/buzz/how-british-special-operations-raid-intended-kill-or-capture-erwin-rommel-went-wrong-35022

Operation Flipper: The Commando Raid on Rommel’s Headquarters BY DWIGHT JON ZIMMERMAN – APRIL 23, 2018https://www.defensemedianetwork.com/stories/operation-flipper-the-commando-raid-on-rommels-headquarters/

One thought on “Operasi Flipper, November 1941: Gagalnya Misi Membunuh Si “Rubah Gurun” Rommel

  • Well I sincerely liked reading it. This tip provided by you is very helpful for accurate planning.

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *